Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan (La Rimpu) bekerja sama dengan Wahid Foundation dan Yayasan Inklusif untuk Program Desa Damai di Kabupeten Bogor, Jawa Barat. Program Strengthening Social Cohesion: Building Peace Village to Enhace Community Resilience Against Radicalism and Violence Extremism ini didukung langsung oleh Global Community Engangement and Resilience Fund (GCERF).
Baca juga: Untuk Suksesnya Program, La Rimpu Hadir dalam Pertemuan Kemitraan dengan UN Women
Peluncuran program ini dilaksanakan di Aula Kantor Kesbangol Kabupaten Bogor pada Kamis, 7 Agustus 2025 kemarin. Program ini bertujuan untuk mendukung rehabilitasi dan reintegrasi returnee, mantan narapidana terorisme serta keluarga mereka dalam masyarakat, dan untuk meningkatkan ketahanan komunitas terhadap radikalisme dan ekstremisme kekerasan.
Program ini, menyasar pada tiga desa di Kabupaten Bogor yaitu Desa Sasak Panjang di Kecamatan Tajur Halang, Desa Sukamntri di Kecamatan Tamansari, dan Desa Kranggan di Kecamatan Gunung Putri. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh berbagai pihak dan pemangku kepentingan di antaranya Pemerintah Kabupaten Bogor, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, tokoh agama, organisasi lokal.

Direktur Yayasan La Rimpu, Prof. Atun Wardatun menyampaikan bahwa La Rimpu sangat berterima kasih atas kepercayaan dan kerja sama yang diberikan untuk La Rimpu. Ia juga menegaskan bahwa kesempatan kali ini merupakan wadah untuk La Rimpu belajar dan menyerap pengetahun dan pengalaman dari lembaga-lembaga lain terutama untuk isu ekstremisme dan perdamaian di Jawa Barat.
“Jujur, untuk isu rehabilitasi dan reintegrasi napiter kami termasuk baru dalam hal ini. Oleh karena itu, kami berharap kesempatan ini untuk kami belajar dan berbagi pengalaman. Selama ini lokus program kami di tingkat lokal di wilayah Nusa Tenggara Barat, sekarang kami dipercaya untuk sama-sama terlibat dalam program yang lokusnya di Jawa Barat. Kami mengistilahkan La Rimpu ini dari lokal ke nasional” jelas Guru Besar UIN Mataram ini disambut tepuk tangan hadirin.
Selain hal di atas, Prof. Atun Wardatun juga menegaskan bahwa pentingnya keterlibatan multi pihak untuk program ini. Di mana, otoritas-otoritas yang tersebar di masyarakat terutama kelompok perempuan harus menjadi perhatian utama untuk membangun perdamaian di masyarakat. “Otoritisasi otoritas yang tersebar di masyarakat harus diperhatikan, sehingga kerja-kerja membangun integrasi dan kohesi sosial masyarakat bisa terjalin dengan baik.” Pesannya.
Dari Wahid Foundation, Siti Kholisoh selaku Managing Director Wahid Foundation menyampakan menjelaskan bahwa program ini hadir mendorong ketahanan masyarakat yang utuh. Selain itu, Siti Kholisoh mengingatkan akan pentingnya masyarakat mengakses program-program pemberdayaan yang setara, partisipatif, inklusif untuk tercapainya ketahanan masyarakat serta mempercepat reintegrasi dan kohesi sosial dalam masyarakat.
Program ini dirancang dengan tiga pendekatan, pertama, dukungan bagi migran kembali, mantan napiter, dan keluarga mereka. Pendekatan ini untuk memfasilitasi akses terhadap layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Sekaligus mendorong ketahanan ekonomi mantan napiter agar proses reintegrasi dan kohesi sosial bisa berjalan dengan baik.
Baca juga: Agenda Forum Koordinasi Tingkat Kabupaten Bima, La Rimpu Undang Beragam Stakeholders
Kedua, penguatan kapasitas pemerintah. Salah satu instrumen penting ialah penyusunan Rencana Aksi Derasikalisasi Pemerintah Daerah (RADPE) yang menjadi panduan pemerintah daerah untuk pencegahan ekstremisme. Ketiga, peningkatan kesadaran pemuda. Generasi muda dididik tentang nilai-nilai agama yang moderat dan toleran. Selain itu, pelatihan keterampilan untuk melawan narasi ektremisme melalui pelatihan literasi digital.
Dalam sambutannya, Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri, Aang Witarsa Rofik menyampaikan apresiasinya pada program desa damai. Ia menegaskan bahwa program desa damai ini sejalan dengan pelaksanaan RAN PE fase kedua. “Sinergi ini tentu memberikan dampak langsung terhadap upaya pencegahan paham radikal di masyarakat.” Tegasnya.
Program ini berlangsung selama tiga tahun ke depan. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti pelatihan ekonomi dan kewirausahaan bagi mantan napiter dan migran yang kembali ke Indonesia, pelatihan literasi digital, dialog dengan masyarakat desa, dan penguatan komitmen kebangsaan dan toleransi di masyarakat.[ARA]