Bima, Nusa Tenggara Barat – Wahid Foundation bersama UN Women dan La Rimpu menggelar forum dialog “Peran Orang Muda dan Pesantren dalam Pembangunan Perdamaian” di Pondok Pesantren Ma’had Al-Qur’an Ash-Shiddiqiyah, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa, 6 Mei 2025. Acara bertajuk “Weki Ndai Sampela ro Santri di Ru’u Dana ro Rasa Mahawo” ini menghadirkan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, perwakilan UN Women Ms. Ulzii, serta Prof. Atun Wardatun dan Prof. Abdul Wahid dari La Rimpu, bersama 200 santri, tokoh agama, dan masyarakat setempat. 

Dalam sambutannya, Yenny Wahid menekankan pentingnya peran perempuan dan pesantren sebagai agen perdamaian. “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Nilai-nilai toleransi dan kedamaian harus ditanamkan sejak dini melalui peran ibu,” ujarnya. Ia juga mengajak laki-laki untuk berbagi peran domestik, merujuk pada istilah “dapur, sumur, kasur” yang kerap membatasi ruang gerak perempuan. “Laki-laki dan perempuan tidak perlu bertanding, tetapi bersanding. Pulanglah dan sampaikan terima kasih pada ibu-ibu yang telah berjasa dalam hidup kita,” serunya. 

Perwakilan UN Women bersama santri

Yenny juga menyoroti kodrat perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui sebagai kekuatan unik yang perlu dihargai, namun bukan alasan untuk membatasi partisipasi perempuan dalam ruang publik. Pesan ini sejalan dengan upaya UN Women dalam mendorong kesetaraan gender, seperti disampaikan Ulzii: “Kolaborasi dengan pesantren menjadi kunci untuk membangun narasi inklusif di tingkat akar rumput.” 

Forum ini menggarisbawahi peran strategis pesantren sebagai pilar perdamaian. Menurut Yenny, pesantren tidak hanya mencetak santri berilmu, tetapi juga beradab. “Hidup santri bukan hanya tentang ilmu, tapi adab. Santri harus menjadi duta Islam yang ramah, membawa kebahagiaan, dan merubah stigma negatif tentang agama,” tegasnya. Ia mendorong santri untuk “bermimpi besar”, menuntut ilmu hingga ke luar negeri, lalu kembali membangun daerah. 

Ibu Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation, menambahkan bahwa perdamaian adalah prasyarat kemajuan ekonomi. “Jika masyarakat konflik, ekonomi hancur. Santri harus jadi pelopor yang menjaga harmoni dengan prinsip “litaarafu” saling mengenal dan menghormati perbedaan,” ujarnya. Pesan ini diperkuat lagi oleh Ibu Yenny  yang mengajak pesantren menjadi laboratorium toleransi, terutama di daerah rawan gesekan sosial. 

“Kami berharap forum ini menjadi bibit untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Perdamaian dimulai dari keluarga, lalu menyebar ke masyarakat,” pungkas Yenny. 

*Feriyadin, Pengurus Yayasan La Rimpu