Menarik membaca tulisan Okky Madasari (selanjutnya Okky) berjudul Metode Kartini di Rubrik Halte Harian Jawa Pos (19/4/2025). Seperti judulnya, Okky menguraikan dengan menarik metode perjuangan Kartini yang – meminjam istilah Okky – sebagai peta yang mengantarkan pada ladang keadilan.

Pada tulisan ini juga, Okky, membuat alur perjuangan ala Metode Kartini, agar publik bisa meniru jalan juang yang dilakukan oleh Kartini. Alur itu sebagai berikut: pertama, diawali dari kesadaran dan kemerdekaan berpikir individu. Kedua, individu yang punya kesadaran dan kemerdekaan dalam berpikir dan bekerja untuk menularkan kesadaran dan kemerdekaan pada orang-orang di sekitarnya. Ketiga, berjejaring, bekerja sama, membangun solidaritas.

Namun, yang juga menjadi catatan di sini ialah semangat Kartini yang ingin menyebarkan obor atawa pelita agar kondisi yang dialami masyarakat di bawah kolonialisme menjadi terang. Kita tahu kredo penting sosok ini: habis gelap terbitlah terang. Dengan bahasa yang lugas Okky menulis, “untuk menerangi hutan belantara itu, dibutuhkan obor-obor yang tak lain adalah pengetahuan dan kesadaran”.

Baca juga: Lima Desa di Kabupaten Bima Gelar Kegiatan Rembug Desa

Lain dari itu, jalan juang Kartini ialah menulis dan mendidik, ia tuangkan ‘pikiran-pikiran merdeka’ untuk menggugat dan yang menggugah pada masa berikutnya, seperti surat-suratnya kepada sahabatnya R.M. Abendanon. Yang terpenting ialah solidaritas yang – sekali lagi meminjam istilah Okky – membentang melintasi ras, identitas, dan batas wilayah.

Mungkin juga semangat itulah yang secara simbolik dilakukan oleh Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan (La Rimpu) di Nusa Tenggara Barat. Ia hadir di tanggal yang sama dengan lahirnya sosok Kartini: 21 April. Bahkan di sini, juga identitas perjuangan bernama ‘sekolah” itu digerakkan. Khas perjuangan Kartini.

Metode Kartini dan La Rimpu

Mari kita coba melihat Metode Kartini di atas untuk menyelami gerak dan jalan juang La Rimpu. Pertama, diawali dari kesadaran dan kemerdekaan berpikir individu. La Rimpu sadar bahwa perempuan ialah subjek (pelaku) dalam kehidupan yang memiliki potensi. (Wahid, dkk,  2020: 2)

Dengan demikian, perempuan sadar bahwa potensi yang dimiliki oleh perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan. Baik sebagai hamba, makhluk sosial, bagian keluarga, atau sebagai individu merdeka. Sebagai individu, perempuan memiliki keunikan, minat, bakat, serta pilihan yang beragam. (Wahid, dkk,  2020: 3).

Dari sini, kita dapat melihat bahwa Metode Kartini, jika kita tarik ke akar rumput akan terlihat benang merah bahwa pusat dari gerak dan perubahan ialah kesadaran dan kemerdekaan individu.

Kedua, individu yang punya kesadaran dan kemerdekaan dalam berpikir dan bekerja untuk menularkan kesadaran dan kemerdekaan pada orang-orang di sekitarnya. Setelah individu yang punya kesadaran tadi sadar dengan potensi yang dimilikinya, individu tersebut menularkan kesadaran tersebut kepada orang lain.

Dalam bahasa Bima, La Rimpu sering menggunakan kata marimpa (menjalarkan). Dalam penjelasan yang lebih luas, menjalarkan ini, berarti individu (perempuan) harus menginspirasi, berdampak, dan bertindak bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk kebaikan bersama. (Wahid, dkk, 2020: 12).

Sikap ini harus genuine. Berangkat dari kesadaran bahwa orang yang terdidik harus siap mendidik. Atau dalam gerak yang lebih praksis, La Rimpu membentuk kelompok-kelompok perempuan di desa-desa dampingannya. Kelompok-kelompok ini ialah kumpulan dari individu-individu yang sadar dengan kapasitasnya kemudian berkelompok agar kekuatan dan solidaritas internal semakin solid.

Atau, dalam bahasa yang lain, Abdul Wahid dan Atun Wardatun menyebutnya sebagai agensi/solidaritas kolektif. Di mana, ia melihat bahwa masyarakat Bima (daerah yang selama ini didampingi oleh La Rimpu) dengan kesadaran kolektif memungkinkan peran-peran perempuan akan lebih terlihat siginifikansi dan kontribusinya. (Wahid dan Wardatun, 2022: 32-33).

Ketiga, berjejaring, bekerja sama, membangun solidaritas. Jelas, Kartini melalui tulisan-tulisannya, membuka jejaring dan solidaritas yang kosmopolit. Adapun La Rimpu sebagai sebuah entitas lembaga sejak awal menyadari pentingnya jejaring dan kerja sama. Kerja sama bukan hanya dalam pengertian eksternal (keluar) dengan lembaga atau pihak lain, juga kerja sama internal (ke dalam) dengan kelompok perempuan dan individu yang sadar.

Refleksi La Rimpu tentang berjejaring, bisa juga kita maknai dengan marimpa. Tetapi kerja sama yang solid, solidaritas yang ajeg, jejaring kokoh selalu bermuara pada manggawo (meneduhkan). Bagaimana kerja sama yang dibangun atas rasa kebersamaan, kesetaraan, dan keadilan.

Selain itu, ada ungkapan think globally, act locally (berpikir global, bertindak lokal). Bahwa jejaring yang dibangun bisa saja luas, tetapi tindakan dan aksi yang dilakukan bersifat lokal. Begitu juga Kartini, menulis dan berkorespondensi melewati batas wilayah dan ras tetapi aksi dan perhatiannya tetap negerinya.

La Rimpu dan Desa Damai

Dengan perhatian besar pada perempuan, La Rimpu menggerakkan perempuan sebagai aktor perdamaian. Dengan kerja sama dan jejaring yang dibangun dengan Wahid Foundation dan UN Women, La Rimpu berupaya untuk menciptakan Desa Damai (Kampo Mahawo).

Bukan tanpa alasan, bahwa dalam kondisi kekinian, konflik sosial sering terjadi di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Barat. Tentu saja, hutan belantara yang ditulis oleh Okky itu ialah gambaran Hindia Belanda waktu itu. Gelap, terjajah, kemelaratan dan ketidakadilan di mana-mana.

Juga di sini, di Indonesia merdeka, konflik sosial antar desa, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan korupsi yang terjadi ialah suasana gelap yang harus dihadapi dengan menyeru dan menyalakan obor-obor sebagai penerang jalan dan pemberi solusi atas keadaan itu.

Baca juga: Peserta Kelas Inisiator Perdamaian, “Field Trip” ke Desa Dampingan Kampo Mahawo

Dan dengan Metode Kartini di atas, obor-obor yang bergerak melalui pengetahuan dan kesadaran sedang dinyalakan oleh La Rimpu melalui kelompok perempuan di desa-desa, lewat Anda, dan lewat kita semua yang terus ‘gelisah’ dengan keadaan ini. Jelas, obor itu harus tetap dinyalakan.

Apa intinya? Selamat Hari Lahir Kartini dan Selamat Hari Lahir La Rimpu. Lilina atawa obornya jangan ditiup, nanti padam. Biarkan ia menyala, sampai waktu yang tidak ditentukan.[]

Daftar Bacaan

Abdul Wahid, dkk. (2020). Modul La Rimpu. Mataram: Alamtara Institute

Abdul Wahid dan Atun Wardatun. (2022). Heterarki Masyarakat Muslim Bima (dan) Indonesia dari Quasi Hegemoni ke Kolektif Agensi (Pidato Guru Besar UIN Mataram). Mataram: UIN Mataram.  

*Ang Rijal Anas, Pemuda, sekarang lagi ngekos di Ciputat