Sekitar awal atau pertengahan bulan November 2024, momen itu tercipta begitu alamiah. Saya menimbrung pembicaraan mama yang sedang menelpon kakak sulung kami, kakak Ifah. Suasana rumah terasa begitu intim ketika mama tampak gelisah. Adik bungsu kami baru saja menelpon dengan tangis yang memilukan, menceritakan pengalamannya di-bully oleh teman sekolahnya di pondok pesantren pada tahun pertamanya.
Percakapan kami pun mengalir, membawa kami pada babak diskusi yang jauh lebih dalam tentang pengalaman bullying dan perbedaan. Kakak Ifah membuka ruang dengan ceritanya sendiri – berkali-kali ia pernah dicap “aneh” oleh teman sekelasnya. Label itu berkali-kali dilemparkan padanya, merembes perlahan meruntuhkan rasa percaya dirinya.
“Tidak perlu dekat dengan semua orang,” saya menyahut dengan tegas. “Cukup dekat dengan beberapa orang saja sudah lebih dari cukup. Begitulah teman, asal sedikit tapi setia.”
Baca juga: UN-Women, Wahid Foundation, Pemkab Bima, dan La Rimpu Jalin Kerjasama Bangun Desa Damai
Dengan keras kepala, saya memotong cerita kakak Ifah. Entah mengapa, saya merasa pencapan “aneh” padanya masih kurang aneh menurutku. Bahkan, saya dengan spontan menginvalidasi perasaannya, “Ah, itu tidak aneh kok, masih lebih aneh saya.”
Sejujurnya, saya tidak pernah merasa benar-benar aneh atau berbeda karena sejak dulu saya langsung tenggelam dalam pengalaman-pengalaman berbeda tanpa terlalu memikirkan pandangan orang lain.
Keanehan yang Membentuk Karakter
Saya mulai menceritakan betapa “anehnya” saya sepanjang perjalanan hidup:
Ketika masih duduk di kelas 4 SD, sementara teman sebaya masih sibuk dengan permainan anak-anak, saya sudah mengikuti kajian keislaman misterius di luar sekolah. Mama bahkan pernah mengantar saya ke lokasi kajian tersebut karena saya memaksanya. Saat itu, topik diskusi sudah sedemikian kompleks – membahas teori konspirasi Yahudi di Indonesia. Sungguh aneh untuk ukuran anak seusia saya.
Momen pertama saya merasa berbeda dengan teman-teman adalah saat pelajaran fiqh di sekolah dasar. Sementara teman-teman masih kesulitan menghafalkan bacaan sholat standar, saya sudah hafal bacaan sholat yang jauh berbeda dari apa yang diajarkan guru di sekolah. Beruntung, guru saya waktu itu tidak mempermasalahkan perbedaan itu. Sejak saat itulah, perbedaan atau keanehan menjadi sesuatu yang menarik bagiku, membangunkan keberanian untuk mengeksplorasi hal-hal yang menurutku penting.
Keanehan saya terus berlanjut hingga masa SMP. Bayangkan, pada usia belasan tahun, saya sudah mengajak mama untuk menghadiri kajian Prof. Musdah Mulia tentang hadis-hadis misoginis. Pada usia belia, saya sudah berhadapan dengan diskursus sensitif yang bahkan orang dewasa pun enggan membahasnya. Belum lagi pengalaman saya mengikuti berbagai model kajian keislaman, sampai pernah terlibat dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang kemudian dibubarkan negara karena bertentangan dengan Pancasila.
Filosofi Keunikan Diri
Saya sudah lama merasa hal semacam itu aneh dan berbeda. Namun, waktu yang saya lalui tidak saya sia-siakan. Saya gunakan untuk belajar tentang perbedaan, terjun langsung membandingkan pandangan-pandangan berbeda, khususnya terkait keislaman.
Saya meminta validasi kepada mama tentang “keanehan” ini, dan mengejutkannya, ia menyetujui. Kami sepakat bahwa setiap manusia punya keunikan masing-masing. Manusia tidak perlu sekadar mengikuti budaya populer atau arus utama. Justru keanehan-keanehan itulah yang menjadi kekuatan kami dalam menjalani kehidupan.
Refleksi Personal
Saya bersyukur dapat membahas hal sensitif ini bersama mama dan kakak Ifah. Percakapan ini terasa seperti ruang aman perempuan yang berdialog dengan zaman, menyadarkan kami betapa pentingnya pengalaman perempuan didengar dan dimaknai.
Saya tahu saya bukan perempuan yang cukup baik dan bijak dalam menghadapi sesama perempuan. Namun, saya yakin pengalaman semacam ini tidak hanya kami alami. Saya ingin menekankan pentingnya perempuan menjadi unik, menjadi dirinya sendiri, memahat jalannya sendiri untuk memahami alur kehidupan.
Kemudian tentang pentingnya perempuan bersatu membahas persoalan yang mereka hadapi. –Women support women – itulah kekuatan sejati kami.
Kini, saat seseorang berusaha meyakinkan saya bahwa saya hampir gila karena mendiskusikan hal-hal berat, saya tersenyum. Di keluarga kami, membahas hal semacam ini sudah biasa. Kami tidak perlu semua orang merasakan apa yang kami rasakan, dan tidak perlu kami mengerti semua hal apa yang orang lain pahami. Namun tentu saja mengutamakan dialog dan keterbukaan itu penting.
Kepada perempuan-perempuan hebat di luar sana yang pernah merasa aneh dan berbeda, pesanku sederhana: peluklah perbedaan dan keanehan itu. Temukan dan jadilah dirimu sendiri yang unik dan berkarakter.
Refleksi tentang Bullying dan Keunikan Diri
Bicara soal bullying, saya sadar ini bukan sekadar kisah personal. Ia adalah refleksi sistemik tentang bagaimana masyarakat menghadapi perbedaan. Ketika seseorang dicap “aneh”, sebenarnya apa yang terjadi adalah proses paling kejam dari penindasan—memaksa individu untuk menjadi seragam.
Bullying adalah cara paling brutal untuk menghancurkan keunikan. Ia adalah senjata untuk mematikan kreativitas, membungkam suara berbeda, dan memaksa seseorang masuk dalam bingkai yang sudah ditentukan. Tapi justru dalam perlawanan itulah kekuatan sejati kita terbangun.
Kepada adik-adik yang mungkin saat ini sedang merasa terpojok, terasing, atau terbully: keanehan kalian adalah kekuatan. Perbedaan kalian bukan aib, melainkan anugerah. Setiap label “aneh” yang dilemparkan adalah undangan untuk semakin dalam mengenal diri sendiri.
Saya tidak ingin membuat manifesto anti-bullying yang terdengar retorik. Saya hanya ingin berbagi bahwa setiap pengalaman buruk—termasuk bullying—adalah kesempatan untuk membangun pertahanan diri yang sesungguhnya. Bukan pertahanan dengan kekerasan, melainkan dengan keberanian menampilkan diri apa adanya.
Jadilah diri sendiri. Sekeras apapun dunia berusaha membentuk kalian, ingatlah: keunikan adalah hak paling fundamental seorang manusia.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Gambar: Lisensi
*Penulis: Nafisah Zarqa, Alumni UIN Alauddin Makassar