Suasana syukuran Idul Fitri di halaman Kalikuma Educamp, Bima, Minggu, 6 April 2025, berlangsung khidmat sekaligus penuh makna. Acara bertajuk “Syukuran Selamatan Idul Fitri” dirangkaikan dengan curah gagasan dari tokoh-tokoh Bima ini tidak hanya menjadi ajang silaturahmi, tetapi juga ruang diskusi progresif yang mengangkat isu lingkungan, pendidikan, hingga revitalisasi budaya lokal.

Kalikuma Educamp menurut salah seorang undangan sebagai tempat yang disebut sebagai “replika peradaban Turki Utsmani” oleh Dr. Sadra ini menjadi saksi pertemuan para tokoh agama, akademisi, dan aktivis yang bersinergi membangun optimisme untuk kemajuan Bima.

Kalikuma Educaamp, yang terinspirasi dari rangkaian pengalaman dua Profesor, sepasang suami istri, Prof. Abdul Wahid dan Prof. Atun Wardatun (keduanya Guru Besar di UIN Mataram) atas analisanya selama perjalanan studi, dibuka dengan komitmen membangun perpustakaan sebagai jantung pengetahuan.

Dr. Sidra, seorang pembelajar yang sudah pernah studi di Australia dan Amerika, luar negeri takjub melihat perubahan tempat acara yang disulap menjadi wadah belajar bagi para pembelajar Bima, sehingga beliau mengawali dengan menyumbangkan 15 buku koleksinya. “Ini awal yang sederhana. Saya mengajak rekan-rekan untuk ikut menyumbang buku agar perpustakaan ini menjadi sumber ilmu bagi generasi Bima,” ujarnya.

Prof. Abdul Wahid berbincang dengan undangan yang hadir

Gagasan ini sejalan dengan pesan Prof. Wahid kepada alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir, Habib Hudzaifi, bahwa beliau menekankan padanya atas pentingnya “membangun spirit menuntut ilmu agama dan ilmu dunia” demi melahirkan generasi ulama dan intelektual yang berkualitas.

Tak kalah menarik, kisah historis tempat ini diungkap oleh Prof. Wahid, ia pernah mengikuti post-doctoral di Turki dan pernah berkunjung ke Istanbul. Ia mengutip ungkapan Plato “Seandainya dunia hanya satu negara, ibu kotanya pasti di Selat Bosporus (Turki). Tapi, Plato pasti belum melihat Bima! Di sinilah pusat peradaban sebenarnya,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.

Lingkungan Rusak, Kemiri jadi Solusi

Isu lingkungan menjadi sorotan utama. Abdul Rauf, tokoh lokal Bima, seorang Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi menyampaikan keprihatinan atas maraknya penebangan pohon, termasuk pohon asam yang dianggap “kezaliman” oleh Prof Wahid. “Kita sering banjir karena hutan dibabat. Karena itu, kami memilih kemiri untuk reboisasi. Selain melindungi alam, kemiri punya nilai ekonomis,” jelasnya.

La Tofi, aktivis lingkungan pemilik sekolah berbasis tanggung jawab sosial, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah konsekuensi dari mengabaikan ayat-ayat suci. “Kita tidak bisa mengandalkan polisi untuk melarang warga menanam jagung di lereng gunung. Tugas kita adalah memberi mereka alternatif penghidupan, seperti beternak atau bekerja di sektor lain, sambil mengingatkan dengan dalil agama,” tegasnya.

Mbojo Bangkit: Pendidikan, Perempuan, dan Adaptasi

Meski Bima dikenal dengan “gairah pendidikan tinggi”, Abdul Rauf mengakui bahwa jumlah generasi ulama semakin menyusut. “Kita harus kembali ke filosofi Mbojo ma ntoi (Bima yang berakar pada tradisi dan ilmu agama). Buku tentang Mbojo yang kami terbitkan adalah upaya merawat identitas ini,” paparnya.

Sementara itu, Direktur La Rimpu, Prof. Atun Wardatun menyoroti dinamika gender dalam masyarakat. “Perempuan dan laki-laki harus menjadi tim di ranah publik dan rumah tangga. Keduanya adalah khalifah di bumi, bukan hanya di surga,” ujarnya.

Ia juga mengutip falsafah Jawa “Tut Wuri Handayani” dan budaya Bima “Shakaka Angi” sebagai simbol kolaborasi. Inilah harapan yang menggema dari Selat Bosporus-nya Indonesia, Bima.

Acara yang dihadiri oleh keluarga, sahabat, akademisi, ulama ini ditutup dengan doa bersama untuk keluarga yang telah meninggal, khususnya ibu dan bapak dari Prof. Wahid dan ibu dari Prof. Atun Wardatun yang sama-sama wafat di bulan April. Prof. Atun berharap Kalikuma Edu Camp akan tercatat dalam sejarah sebagai pusat penyebaran kebaikan. “Tahun lalu, kita menghadirkan maestro lukis, Ridwan Manantik di Teluk Bima. Tahun ini, kita menyatukan lingkungan, budaya, dan agama. Semoga Bima terus menjadi teladan,” pungkasnya.

Dengan semangat “Dou Mbojo punya teladan yang bagus”, syukuran Idul Fitri ini bukan sekadar ritual, melainkan deklarasi untuk menjadikan Bima sebagai pusat peradaban yang harmonis antara ilmu, iman, dan alam.(ARA).

*Feriyadin, Pengurus Yayasan La Rimpu