Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan (La Rimpu) pada 8 April 2025 lalu melaksanakan kegiatan bertajuk Penguatan Kapasitas Anak Muda Desa Damai: Peran Strategis Komunitas Lokal dan Respon Terhadap Krisis Lingkungan dan Sosial di Kalikuma Library and Educamp, Ule, Kota Bima.
Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan anak muda dari empat desa dampingan La Rimpu yaitu Desa Rato, Desa Roi, Desa Samili, dan Desa Ncera. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari program pemberdayaan perempuan untuk perdamaian berkelanjutan (Nexus) hasil kerja sama KOICA, UN Women, Wahid Foundation, dan La Rimpu.
Ruwaidah Anwar, selaku Program Officer La Rimpu untuk Program Nexus ini mengaku bahwa keterlibatan anak muda dalam terwujudnya Desa Damai (Kampo Mahawo) sangat besar. “Oleh sebab itu, kemarin anak muda dari desa dampingan Nexus kami libati dalam kegiatan Kelas Inisiator Perdamaian.” Terangnya.
Baca juga: Perkuat Agensi Perempuan, La Rimpu Menggelar Pelatihan Advokasi dan Kepemimpinan Perempuan
Selain itu, dalam kesempatan yang sama, Direktur La Rimpu, Prof. Atun Wardatun dalam sambutannya memberikan penguatan dan penyadaran bahwa agensi dan kapasitas bertindak yang ada pada diri anak muda selalu menjadi tumpuan untuk menciptakan perubahan sosial di masyarakat. “Dalam sejarahnya, anak muda selalu menjadi kunci bagi perubahan sosial.” Tandas penulis buku Perempuan NTB Mendunia? Siapa Takut, ini.
Selain itu, dengan merujuk kembali kepada sejarah Nabi Muhammad, Ibu AW2, sapaan akrabnya, menjelaskan kepada peserta yang hadir tentang bagaimana perjuangan nabi waktu muda sebelum menikah dengan berdagang dan membantu Siti Khadijah untuk berbisnis. “Inilah kolaborasi dan kebermaknaan kehadiran anak muda sebagai pembawa perubahan di usia produktif ini.” Terangnya.

Adapun narasumber yang hadir pada kegiatan ini ialah Prof. Abdul Wahid dan La Tofi selaku pendiri dari The La Tofi School of Corporate Social Responsibility. Prof. Abdul Wahid dalam pemaparannya menyampaikan soal potensi dan kekuatan kearifan lokal Bima.
Lebih lanjut, Aba AW1, sapaan akrabnya, ia menguraikan tentang konflik dan potensi konflik yang ada di masyarakat Bima. Saling tanding antar desa mana yang lebih unggul, maju, dan kaya dengan desa lain yang lebih rendah atau lebih terpinggirkan. “Ada hidden competition kompetisi yang tersembunyi dalam masyarakat kita, misalnya waktu saya melakukan penelitian di Donggo justru yang saling sikut dan berkompetisi itu di Sila.” Ungkap Guru Besar Antropologi Agama UIN Mataram ini.
Selain itu, Prof. Abdul Wahid mengingatkan potensi kearifan lokal dou Mbojo untuk membangun budaya damai yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan masyarakat Bima. Seperti Ede ra ndai sura dou labo dana (mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan) dan liki loko ndai. “Jangan lupa ungkapan kalembo ade, itu kata magic yang pasti tidak ada konflik.” Tegasnya.
Narasumber lain, La Tofi dalam pemaparannya menyoroti perubahan iklim dan krisis lingkungan yang terjadi di Bima. Ia menyayangkan hutan di Bima yang sudah banyak dialihfungsikan dan sampah di Teluk Bima yang banyak merusak ekosistem laut.
“Kita harus mulai sadar, bahwa ekosistem laut harus menjadi perhatian utama. Laut juga menjadi sumber oksigen penghasil oksigen yang besar dengan syarat sampah di laut itu dibersihkan.” Paparnya di depan peserta.
Lebih lanjut, ia juga mengungkapkan bahwa pentingnya kelompok perempuan untuk memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat agar konflik dan keretakan sosial di masyarakat bisa diminimalisir. Untuk masalah ekonomi, lulusan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial ini mengusulkan untuk kelompok perempuan mendirikan koperasi Ina Manggawo. “Koperasi ini harus mampu menjadi agen yang membawa perubahan, minimal di halaman rumah kita.” Tegasnya.
Baca juga: Program Pemberdayaan Perempuan untuk Perdamaian Berkelanjutan, La Rimpu gelar Kick Off di Empat Desa
Setelah narasumber selesai memaparkan pandangannya, peserta diajak berdiskusi terkait masalah yang menyangkut desa mereka masing-masing. Suci, dari Desa Samili mengungkapkan keprihatinannya terkait streotipe dan egosentrisme dalam masyarakat Bima. Ia menyayangkan sosial media yang isinya saling menghujat antar sesama dan sialnya beberapa waktu yang lalu sempat viral.

Selain itu, Fikram, salah satu peserta, sudah mulai sadar bahwa krisis lingkungan akibat sampah daun bawang di sekitar perbatasan Ngali dan Renda. Ia mengharapkan untuk aksi terbaik dari semuanya sehingga sampah organik tersebut bisa di manfaatkan untuk keperluan yang lebih baik. Sehingga perputaran sampah itu tidak hanya menjadi “sampah” dan tidak ada solusi selanjutnya.
Selain itu, Kepala Desa Rato, yang juga hadir dalam kesempatan tersebut, mengungkapkan masalah utama di desanya ialah masalah sampah. Dalam beberapa tahun terakhir, Desa Rato pernah melakukan studi tiru di Desa Semparuk untuk pengolahan sampah. Yang kami bangun ialah budidaya magot. Dan itu, sudah beberapa tahun terakhir sudah berjalan di desa kami.
Di akhir diskusi Prof. Abdul Wahid mengingatkan akan pentingnya narasi tandingan dan kehadiran dai organik yang bisa melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat dan pendamping umat dan La Tofi mengingatkan no one left behind, tidak ada satu pun yang ditinggalkan dalam proses pembangunan masyarakat yang adil dan berkelanjutan.[ARA]