Dalam upaya menguatkan peran perempuan dan pemuda dalam membangun perdamaian, UN Women Indonesia bersama Wahid Foundation dan La Rimpu, dengan dukungan Pemerintah Kerajaan Belanda, menyelenggarakan Lokakarya Dokumentasi (Writeshop) selama dua hari pada 5–6 Agustus 2025 di Marina Inn Bima.

Lokakarya ini menjadi wadah bagi perwakilan lima desa dampingan di Kabupaten Bima (Roka, Renda, Kalampa, Penapali, dan Dadibou) untuk menyusun narasi perubahan, berbagi praktik baik, dan mendokumentasikan pembelajaran berharga dari pelaksanaan Program Desa Damai. Sebanyak 18 peserta yang terdiri dari fasilitator desa, alumni Kelas Inisiator Perdamaian, serta tim Kelompok Kerja Desa Damai, turut ambil bagian dalam pelatihan ini.

Selama dua hari pelatihan, peserta tidak hanya dibekali dengan teknik penulisan artikel naratif yang kuat, tetapi juga dilatih untuk mengidentifikasi perubahan sosial melalui kerangka socio-ecological (pribadi, relasional, struktural, dan kultural). Sesi diskusi kelompok, praktik langsung menulis, serta latihan dokumentasi visual memperkaya proses pembelajaran peserta.

Pentingnya dokumentasi dalam menjaga keberlanjutan program juga menjadi poin utama dalam pelatihan ini. Cerita-cerita yang dihasilkan oleh peserta akan menjadi bahan utama dalam penyusunan studi kasus UN Women Indonesia yang merefleksikan dampak nyata dari implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan di tingkat akar rumput.

Selain membekali peserta dengan keterampilan menulis, kegiatan ini juga menciptakan semangat kolektif antar-desa untuk saling belajar dan menginspirasi. Harapannya, dokumentasi yang dihasilkan dapat menjadi referensi penting dalam pengambilan kebijakan dan replikasi program serupa di wilayah lain.

Berikut adalah tulisan-tulisan yang lahir dari proses tersebut:

  1. Festival Musik dan Panggung Budaya: Transformasi Konflik Menjadi Harmoni di Desa Renda (Penulis: Nurhidayah, Miftahul Jannah, Endang)

Festival Musik dan Panggung Budaya di Desa Renda adalah contoh nyata bagaimana pendekatan budaya dan seni dapat menjadi strategi efektif dalam membangun perdamaian dan merekatkan kembali harmoni sosial yang retak. Kegiatan ini dirancang oleh Komunitas Perempuan Penggerak Generasi (PPG) bersama fasilitator desa damai sebagai bentuk respons terhadap berbagai tantangan sosial yang mengakar di masyarakat, termasuk konflik horizontal, pergeseran nilai budaya, serta degradasi moral generasi muda.

Baca juga: Kartini, La Rimpu, dan Desa Damai

Selama lima hari berturut-turut (22–26 Oktober 2024), festival ini menampilkan pertunjukan musik akustik, tarian tradisional, pembacaan puisi, ceramah keagamaan, hingga lomba ayat pendek. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga aparat desa berpartisipasi aktif. Dengan konsep partisipatif dan berbasis komunitas, festival ini tidak hanya menjadi ruang hiburan, tetapi juga menjadi wahana rekonsiliasi dan refleksi kolektif.

Dari Konflik ke Kolaborasi Budaya

Konflik sosial yang pernah muncul di Desa Renda banyak dipicu oleh transformasi nilai pada tradisi Ndempa Ndiha, yang dulu merupakan simbol syukur pascapanen namun kemudian berubah menjadi arena kekerasan dan ekspresi superioritas antarpemuda. Tradisi ini memicu stigma, persaingan, dan ketegangan sosial. Lebih jauh, generasi muda dihadapkan pada tantangan baru seperti penyalahgunaan narkoba, perjudian online, seks bebas, dan ketergantungan pada media sosial.

Kegiatan festival ini menjadi titik balik penting. Konflik tidak lagi disikapi dengan konfrontasi, melainkan diubah menjadi kolaborasi seni. Musik dan tarian tradisional digunakan untuk memperkuat kembali identitas budaya dan rasa bangga sebagai warga Desa Renda. Di puncak acara, penampilan kolaboratif antara pemuda dan komunitas perempuan lewat lagu daerah dan puisikalisasi berjudul “Kita Bukan Tidak Bisa, Hanya Saja Belum Terbiasa” menjadi simbol harapan baru dan kesadaran kolektif akan pentingnya menciptakan ruang-ruang yang sehat dan positif.

Hasil dari kegiatan ini antara lain:

  1. Peningkatan solidaritas sosial antarwarga – berbagai elemen masyarakat lintas usia dan latar belakang terlibat aktif tanpa sekat.
  2. Revitalisasi nilai gotong royong dan budaya lokal – kegiatan dirancang dan dilaksanakan secara swadaya dan kolaboratif.
  3. Partisipasi lintas generasi yang tinggi – data menunjukkan keterlibatan 15 anak-anak, 21 remaja, dan 6 orang dewasa dalam berbagai kategori lomba.
  4. Kebangkitan kembali identitas budaya – seni lokal menjadi kebanggaan, bukan hanya nostalgia.
  5. Penurunan ketegangan sosial – festival menjadi media dialog dan pemulihan relasi sosial yang sebelumnya tegang.

Tantangan yang Dihadapi:

  1. Mentalitas lama yang masih kuat – sebagian masyarakat masih menganggap Ndempa Ndiha sebagai identitas yang harus dipertahankan, meskipun dalam bentuk kekerasan.
  2. Stigma antarwarga akibat konflik lama – butuh waktu dan pendekatan yang konsisten untuk memulihkan kepercayaan.
  3. Minimnya ruang kreatif bagi pemuda – sebelum kegiatan ini, hampir tidak ada alternatif positif yang terstruktur untuk anak muda.
  4. Resistensi awal terhadap kegiatan baru – beberapa pihak awalnya meragukan efektivitas pendekatan seni sebagai alat perubahan.

Festival Musik dan Panggung Budaya telah membuktikan bahwa membangun desa damai tidak hanya soal mencegah konflik, tetapi menciptakan ekosistem sosial yang memfasilitasi interaksi, ekspresi, dan kolaborasi lintas kelompok. Dukungan dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, karang taruna, hingga guru-guru sekolah menjadi bukti bahwa perubahan adalah tanggung jawab bersama. Dengan semangat “Kita Bukan Tidak Bisa, Hanya Saja Belum Terbiasa”, Desa Renda kini mulai menata arah baru: sebuah masyarakat yang memelihara nilai, merawat generasi, dan membangun perdamaian melalui akar budayanya sendiri.

  • Inisiasi Pemuda Peduli Lingkungan oleh Komunitas Pemuda Penapali (Penulis: Putri Fadilah, Rahmansyah, Awalul Zihad)

Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, menjadi saksi perubahan yang digerakkan oleh sekelompok pemuda melalui inisiasi komunitas peduli lingkungan. Komunitas Pemuda Penapali dibentuk sebagai ruang bersama bagi generasi muda untuk menyalurkan potensi, minat, dan kontribusi nyata dalam pengembangan desa. Di balik semangat kolektif tersebut, lahir sebuah inisiatif sederhana namun berdampak besar: gotong royong bulanan dan pengadaan bak sampah bambu sebagai solusi terhadap persoalan lingkungan yang terjadi di desa.

Dari Apatis Menuju Partisipatif

Desa Penapali, yang memiliki jumlah penduduk padat – 1.367 jiwa dan 467 KK – menghadapi persoalan minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Meskipun pemerintah desa telah berupaya dengan menyediakan bak sampah, namun kebiasaan membuang sampah sembarangan masih melekat di sebagian warga.

Menjawab tantangan itu, komunitas pemuda Penapali mengambil langkah pertama melalui kegiatan gotong royong pada 1 Juni 2025 di Dusun Pena. Namun, langkah awal ini tidak mudah. Antusiasme masyarakat masih rendah—hanya dua hingga tiga orang yang hadir, bahkan lebih banyak yang hanya menyaksikan tanpa terlibat.

Pengurus Yayasan La Rimpu, Zainal Abidin mengikuti kegiatan Pelatihan Menulis Praktik Baik

Namun, semangat pantang menyerah membuahkan hasil. Pada gotong royong ketiga, terjadi lonjakan partisipasi warga, hingga pada akhirnya pemerintah desa memberikan dukungan berupa dana operasional. Kepercayaan ini menjadi titik balik – para pemuda tidak hanya dilihat, tetapi mulai dipercaya sebagai motor perubahan.

Keberhasilan tidak hanya diukur dari jumlah partisipan, tetapi juga dari transformasi kesadaran kolektif. Komunitas ini kini secara rutin melaksanakan gotong royong bulanan, yang telah dilakukan lima kali sepanjang tahun 2025. Puncaknya adalah inisiatif pembuatan bak sampah dari bambu pada 30 Juli 2025, menggunakan dana kas komunitas dan iuran pribadi anggota. Bak sampah buatan tangan ini dirancang untuk disebarkan di setiap RT dan di lokasi-lokasi rawan pembuangan sampah liar. Upaya ini tidak hanya menjadi solusi praktis, tetapi juga simbol dari semangat gotong royong dan kreativitas pemuda desa.

Kendala utama yang dihadapi adalah membangun kepercayaan dan mengubah kebiasaan masyarakat. Di awal, kegiatan komunitas dipandang sebelah mata. Minimnya apresiasi sempat menjadi tekanan psikologis bagi para pemuda. Namun melalui pendekatan yang persisten dan memberi contoh langsung, mereka perlahan meraih simpati publik. Kini, tantangan berikutnya adalah menjaga konsistensi gerakan ini, memperluas dampaknya, dan membangun sinergi dengan pemerintah desa serta mitra eksternal agar gerakan lingkungan ini dapat menjadi program berkelanjutan.

Komunitas Pemuda Penapali membuktikan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari proyek besar. Dengan semangat, kreativitas, dan ketulusan, mereka berhasil menjadi pelopor kebersihan di lingkungan sendiri. Harapannya, inisiatif ini dapat menginspirasi desa-desa lain untuk mulai bergerak—dari bawah, oleh warga sendiri, untuk masa depan yang lebih bersih dan sehat. “Kami tidak menunggu perubahan, kami menciptakannya.” – Putri, inisiator Komunitas Pemuda Penapali.

  • Krisis Air Bersih di Desa Kalampa, Kabupaten Bima (Penulis: Nurjanah Supriani, M. Fakhrur Rodzi, M. Ali Yaser)

Air bersih adalah kebutuhan dasar manusia yang semestinya dijamin ketersediaannya oleh negara. Namun, ironi terjadi di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima – sebuah desa yang secara geografis berdekatan dengan pusat pemerintahan daerah – justru mengalami krisis air bersih kronis setiap tahun. Tercatat, dua dusun (dusun Ndora dan dusun Rangga) di desa ini menjadi wilayah paling terdampak dengan lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK) hidup dalam keterbatasan air bersih.

Kelangkaan ini terjadi akibat kerusakan sistem pompa air yang sudah uzur dan tidak terawat, serta ketiadaan sumber mata air alternatif untuk pengeboran ulang. Krisis ini membuat kehidupan sehari-hari warga, khususnya perempuan, menjadi sangat berat. Seperti yang dialami Ibu Nur, seorang ibu rumah tangga yang harus mengangkut air sejauh 2 km menggunakan motor dan jerigen hanya untuk kebutuhan dasar keluarga sehari-hari.

Melihat kondisi yang tidak kunjung membaik, warga mulai mengambil langkah. Ibu Nur, salah satu perempuan inisiator di desa Kalampa, menjadi aktor penting perubahan. Ia tidak tinggal diam. Dia mulai mendokumentasikan keluhan warga, memotret situasi kekeringan, serta menyuarakan aspirasi melalui media sosial dan komunikasi aktif dengan pemerintah desa.

Kepala Desa Kalampa turut menunjukkan kepedulian dan berpihak pada warganya. Ia mendukung aksi warga bahkan ketika terjadi aksi blokade jalan sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap lambannya respons pemerintah daerah. Gelombang empati pun mengalir dari masyarakat desa lain setelah krisis ini viral di media sosial, seperti Facebook dan TikTok.

Suara kolektif warga, didukung oleh dokumentasi visual dan keberanian menyuarakan fakta, berhasil menembus sekat birokrasi. Pemerintah desa aktif mengomunikasikan kondisi darurat ini ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Dampaknya, sejumlah bantuan mulai berdatangan: truk air dari BPBD, Bank Syariah, dan Polres Bima menjadi bentuk respons awal atas aksi warga.

Hasil yang Dicapai:

  1. Terpenuhinya kebutuhan air sementara di dua dusun (dusun Ndora dan dusun Rangga) terdampak.
  2. Tumbuhnya solidaritas lintas desa sebagai bentuk empati terhadap Desa Kalampa.
  3. Peningkatan kesadaran warga akan pentingnya dokumentasi dan advokasi dalam menuntut hak dasar.
  4. Penguatan peran perempuan dalam penyampaian aspirasi dan pengambilan keputusan di tingkat desa.

Tantangan yang Masih Dihadapi:

  1. Belum adanya solusi jangka panjang seperti perbaikan pompa atau pembangunan sumber air alternatif.
  2. Kurangnya perhatian berkelanjutan dari pemerintah daerah yang menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan distribusi layanan dasar.
  3. Ketergantungan pada bantuan darurat yang tidak menjamin keberlanjutan.

Kisah Desa Kalampa mengingatkan kita bahwa air bukan sekadar sumber daya alam, tapi adalah hak asasi dan simbol kehidupan yang tak bisa ditawar. Ketika negara belum mampu menjamin itu, maka suara warga – khususnya perempuan seperti Ibu Nur – menjadi cahaya harapan.

  • Membangun Perdamaian dari Desa Roka (Penulis: Khoirunnisyah, Superiyadin, Abdurrahman)

“Di Desa Roka, hidup harmoni bukan sekadar mimpi, tapi warisan yang terus dijaga bersama.” Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, namun bagi masyarakat Desa Roka, kalimat ini adalah wujud dari cita-cita kolektif: hidup harmonis di tengah nilai budaya, gotong royong, dan rasa kekeluargaan yang selama ini dijaga turun-temurun.

Namun, harapan itu sempat terguncang. Di masa lalu, Desa Roka pernah dilanda konflik antar pemuda yang merambat menjadi konflik antar keluarga, bahkan merusak hubungan baik dengan desa tetangga. Nilai-nilai luhur yang dulu menjadi perekat sosial terkikis oleh amarah, dendam, dan ketidakpercayaan.

Membangun Komunitas untuk Merawat Damai

Dari luka itulah kesadaran tumbuh. Sekelompok pemuda Roka yang dipelopori oleh seorang mahasiswa alumni Makassar dan beberapa rekan sesama pemuda, mulai merenungkan kembali arti penting kehidupan damai. Salah satu inisiatif awal mereka adalah membentuk komunitas seni dan budaya bernama Kampung Jompa.

Melalui komunitas ini, mereka menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menghidupkan kembali semangat kolektif desa, seperti Festival Kampung Jompa (2018 dan 2020) dan Festival Budaya Desa Roka Mantika (2025). Kegiatan-kegiatan ini menjadi ruang ekspresi budaya dan ajakan simbolik untuk kembali memelihara harmoni sosial.

Baca juga: La Rimpu Goes to Campus 2024, Rektor UM Bima: La Rimpu Berhasil Padukan Intelektualitas dan Aktivisme

Tak hanya seni, para pemuda juga aktif menyelenggarakan dialog dan seminar tentang penyalahgunaan narkoba dan isu-isu sosial lain yang menjadi akar kerusakan moral. Remaja masjid pun ikut ambil bagian dengan menginisiasi kegiatan keagamaan sebagai bentuk pendekatan spiritual untuk membentuk generasi yang sadar akan peran sosialnya.

Perubahan besar mulai terlihat. Dulu pemuda menjadi sumber konflik, kini mereka justru menjadi agen perubahan dan penjaga perdamaian. Forum-forum pemuda kini tidak hanya berkegiatan di dalam desa, tapi juga menjalin kerja sama olahraga antar desa, seperti pertandingan persahabatan sepak bola, sebagai bentuk rekonsiliasi antar generasi muda lintas wilayah.

Perubahan lain yang signifikan adalah terbukanya ruang partisipasi pemuda dalam pemerintahan desa. Di bawah kepemimpinan Kepala Desa Suhaimin, para pemuda dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Sebuah bentuk pengakuan atas kontribusi mereka dalam menciptakan stabilitas sosial.

Kini, Desa Roka dikenal sebagai desa yang mulai pulih dari konflik dan menjadi model partisipasi pemuda dalam pembangunan damai. Keterlibatan mereka membuahkan kepercayaan baru dari masyarakat dan pemerintah desa. Bahkan, pada tahun ini, Desa Roka dipercaya menjadi tuan rumah lomba sepak bola antar desa se-Pulau Sumbawa dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tantangan

Meski banyak kemajuan telah dicapai, tantangan tetap ada. Luka masa lalu masih membekas di sebagian warga, dan proses penyembuhan sosial membutuhkan waktu dan kesabaran. Selain itu, konsistensi dan keberlanjutan kegiatan pemuda sering kali terbentur pada keterbatasan sumber daya dan dukungan.

Namun para pemuda tidak menyerah. Bagi mereka, perdamaian bukanlah hadiah, tetapi buah dari perjuangan yang terus dinyalakan, seperti obor kecil yang tidak boleh padam. Narasi Desa Roka adalah kisah tentang harapan, perubahan, dan keteguhan. Pemuda-pemuda desa telah membuktikan bahwa dari sebuah komunitas kecil yang terluka, bisa lahir gerakan damai yang menginspirasi. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa membangun perdamaian bukanlah pekerjaan satu malam, tapi proses panjang yang membutuhkan keberanian, refleksi, dan kolaborasi lintas generasi. “Kami percaya, jika desa damai, maka dunia pun akan lebih damai.”

  • Tim Pokja Hadir sebagai Solusi Konflik di Desa Roka (Penulis: Khoirunnisyah, Superiyadin, Abdurrahman)

Desa Roka, sebuah desa pemekaran dari Desa Runggu sejak tahun 2002, tumbuh menjadi desa definitif dengan semangat kemandirian dan gotong royong. Terletak di lingkungan yang asri, sejuk, dan damai, masyarakat Desa Roka menunjukkan inisiatif luar biasa dalam membangun desa, termasuk mendirikan kantor desa secara swadaya. Namun, seiring perkembangan zaman, desa ini tidak luput dari tantangan sosial yang menguji kohesi sosial masyarakatnya.

Perubahan sosial yang terjadi membawa dampak ganda. Di satu sisi, masyarakat mengalami kemajuan melalui pendirian lembaga pendidikan dan tempat ibadah seperti TPQ, masjid, dan sekolah formal. Namun di sisi lain, nilai-nilai lokal mulai tergerus oleh pengaruh negatif budaya luar. Fenomena seperti gaya hidup bebas, konsumsi minuman keras, dan pergaulan tidak sehat menyusup ke kalangan remaja, memicu ketegangan yang berujung pada konflik sosial.

Konflik pertama yang cukup mencolok terjadi antara Desa Roka dan Desa Roi, dipicu oleh persoalan antar remaja yang berujung pada perkelahian massal. Konflik ini menjadi peristiwa berulang setiap tahun, dengan akar persoalan yang berbeda namun aktor dan dampaknya serupa. Upaya penyelesaian damai terus dilakukan oleh pemerintah desa dan tokoh masyarakat hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai.

Namun konflik antar desa kembali mencuat pada akhir 2024, melibatkan pelajar dari Desa Roka dan Desa Runggu. Konflik ini tidak hanya menimbulkan korban luka-luka, tetapi juga berdampak besar pada sektor pertanian masyarakat. Pemerintah Desa Roka, bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda, secara aktif melakukan mediasi, berkoordinasi intensif dengan pihak kepolisian hingga akhirnya tercapai perdamaian melalui proses islah.

Pasca konflik, semangat kebersamaan dibangun kembali. Pemerintah desa menggandeng berbagai elemen Masyarakat – BPD, karang taruna, majelis taklim, hingga remaja masjid – untuk membangkitkan kembali nilai-nilai gotong royong dan membangun kesadaran akan pentingnya perdamaian. Momentum ini dimanfaatkan oleh fasilitator program La Rimpu untuk memfasilitasi pembentukan Tim Pokja Desa Damai di Desa Roka.

Tim Pokja Desa Roka kini menjadi garda terdepan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik di tingkat desa. Dengan pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, tim ini berhasil menangani berbagai persoalan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, hingga gesekan antar warga. Kehadiran Tim Pokja memberikan rasa aman dan membuka ruang dialog damai bagi masyarakat.

Praktik Baik:

  1. Pembentukan Tim Pokja sebagai respons atas konflik berulang menjadi inovasi sosial yang berbasis komunitas.
  2. Keterlibatan aktif berbagai elemen desa (tokoh agama, pemuda, pemerintah desa) dalam pencegahan konflik.
  3. Membangun kembali semangat gotong royong dan budaya musyawarah setelah konflik.

Perubahan:

  1. Meningkatnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya menjaga perdamaian.
  2. Tumbuhnya partisipasi pemuda dan tokoh perempuan dalam penyelesaian konflik.
  3. Terbukanya ruang partisipatif bagi kelompok masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Hasil:

  1. Konflik-konflik sosial berhasil diselesaikan secara damai dan cepat tanpa meluas.
  2. Masyarakat memiliki rujukan yang jelas dalam menyampaikan dan menyelesaikan masalah.
  3. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa dan lembaga lokal.

Tantangan:

  1. Perubahan pola pikir sebagian masyarakat yang masih permisif terhadap kekerasan atau penyelesaian konflik dengan kekuatan.
  2. Minimnya dokumentasi tertulis terhadap proses dan strategi penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Tim Pokja.
  3. Perlunya pelatihan dan peningkatan kapasitas lanjutan bagi anggota Pokja untuk menghadapi isu-isu baru yang lebih kompleks.
  • La Rimpu: Suara Perempuan, Nafas Damai di Tanah Bima (Penulis: Zaenal Abidin, Arief Hidayat, Nuryuliana, Ica Uswatun H, Feriyadin)

Di sudut timur Indonesia, tepatnya di Kota Bima, NTB, lahirlah sebuah gerakan akar rumput yang membangkitkan asa baru bagi perempuan desa. Bernama La Rimpu, komunitas ini merupakan hasil inisiatif pasangan akademisi asal Bima, Abdul Wahid dan Atun Wardatun, yang tak tinggal diam melihat ketimpangan sosial dan keterbatasan ruang aman bagi perempuan di tanah kelahiran mereka. Bertepatan dengan Hari Kartini 21 April 2018, La Rimpu berdiri sebagai Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan, dengan semangat memperkuat peran perempuan dalam ruang publik, membangun ketahanan sosial, dan menanam nilai-nilai damai dalam kehidupan masyarakat.

Menyemai Kesetaraan dan Perdamaian dari Akar Rumput

La Rimpu hadir bukan hanya sebagai komunitas pemberdayaan, tetapi juga sebagai rumah belajar yang menyatukan perempuan dan laki-laki dalam kesetaraan. Dengan memanfaatkan kearifan lokal sebagai jembatan pendekatan, komunitas ini aktif melakukan pendampingan di desa-desa dengan sejarah konflik berkepanjangan, seperti Desa Renda dan Ngali, dan kemudian meluas ke lima desa dampingan: Renda, Dadibou, Penapali, Kalampa, dan Roka melalui Program Desa Damai kolaborasi dengan Wahid Foundation dan UN Women.

Melalui kegiatan kelas inisiator perdamaian, pendampingan UMKM perempuan, pelatihan kepemimpinan desa, hingga forum diskusi damai dan literasi hukum, La Rimpu membangun sistem pembelajaran inklusif yang mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam transformasi sosial.

Perubahan nyata mulai tampak seiring berjalannya waktu:

  1. Perempuan yang dahulu hanya berada di dapur dan sumur, kini berani berbicara di forum desa.
  2. Beberapa perempuan bahkan mengusulkan program pemberdayaan ekonomi untuk ibu rumah tangga, yang kemudian disetujui dan didanai oleh pemerintah desa.
  3. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan anggaran desa menjadi langkah penting menuju tata kelola desa yang adil gender.
  4. Anak muda mulai terbuka terhadap keberagaman dan melihat pentingnya toleransi dalam kehidupan sosial.

La Rimpu juga berhasil membangun kelompok usaha bersama perempuan, komunitas pemberdayaan remaja, dan mendorong partisipasi lintas generasi dalam pembangunan desa.

Hari ini, lima desa dampingan La Rimpu mulai menampilkan wajah baru:

  1. Perempuan tidak lagi hanya sebagai pelengkap, tetapi menjadi pengambil peran dan pengambil keputusan.
  2. Pemerintah desa menunjukkan komitmen untuk inklusivitas, melibatkan perempuan dan pemuda dalam musyawarah dan penyusunan Rencana Pembangunan Desa.
  3. Masyarakat mulai menghargai kerja kolektif sebagai jalan menuju perdamaian.

Bagi perempuan di desa, berbicara di ruang publik kini bukan tabu, melainkan simbol keberanian dan perubahan.

Tantangan:

Namun jalan menuju perdamaian tidak pernah mudah. La Rimpu menghadapi sejumlah tantangan besar:

  1. Budaya patriarki yang mengakar kuat membuat banyak perempuan tidak mendapat izin suami untuk mengikuti kegiatan komunitas.
  2. La Rimpu sempat disalahartikan sebagai simbol busana, bukan gerakan sosial. Banyak yang mengira bahwa “La Rimpu” adalah kain penutup kepala khas Bima, bukan ruang belajar bagi perempuan desa.
  3. Stigma terhadap keterlibatan perempuan dalam pembangunan masih sering muncul dalam narasi warga.

Tantangan tersebut dijawab La Rimpu dengan pendekatan humanis: dialog, kedekatan emosional, serta pembuktian melalui aksi nyata. La Rimpu bukan sekadar komunitas. Ia adalah gerakan kultural dan sosial yang menegaskan bahwa perdamaian dan perubahan hanya bisa dibangun dari akar—dari desa, dari suara perempuan, dari kebersamaan. Dalam konteks Bima, La Rimpu adalah bukti bahwa perempuan tidak hanya mampu menjaga dapur dan sumur, tetapi juga menyulam masa depan masyarakat yang damai, setara, dan berdaya.[]

*Feriyadin, Pengurus Yayasan La Rimpu dan Dosen STIPAR Soromandi Bima

Share This

Share this post with your friends!