Nuryati adalah salah satu peserta aktif di Sekolah Perempuan La Rimpu dalam Program Desa Damai. Saat ini ia merupakan seorang Guru Pendidikan Anak Usia Dini di Desa Rato, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Ia bisa dikatakan sebagai perempuan tangguh yang menjalani perannya sebagai ibu tunggal bagi seorang putri berusia delapan tahun. Tidak mudah membesarkan seorang putri di tengah situasi sosial yang tidak terduga bisa mengancam karakter anak tercinta. Nuryati menyimpan cerita perjuangan yang lain di antara ibu-ibu yang hadir di sesi Kelas Sekolah Perempuan La Rimpu, yang saat itu membahas tentang kebijakan publik di tingkat Desa.
Ia menceritakan pengalaman pribadinya mengadvokasi putrinya yang beberapa tahun lalu menjadi korban perundungan di sekolah. Dengan perasaan yang resah, Nuryati berbagi bagaimana ia mengalami kebingungan ketika melaporkan perundungan tersebut. Pengaduannya kepada guru, kepala sekolah, hingga orang tua pelaku tidak mendapat tanggapan yang berarti. Putrinya sempat berada di fase kehilangan kepercayaan diri, bahkan sempat enggan berangkat ke sekolah.
Umumnya orang-orang menyarankan agar anaknya dipindahkan ke sekolah lain, namun bagi Nuryati, memindahkan anak ke sekolah lain bukanlah solusi, karena perundungan serupa, atau kekerasan yang bahkan lebih buruk, juga terjadi di sekolah lain. Lagi pula, yang dipindahkan seharusnya bukan anak yang menjadi korban, melainkan pelaku perundunganlah yang perlu mendapatkan penanganan. Dalam situasi seperti itu, Nuryati memilih memperkuat ketangguhan putrinya agar mampu menghadapi tantangan ini.
Selain itu, pengalaman tersebut menjadi titik balik bagi Yati. Ia sadar bahwa mendiamkan perundungan tidak akan menyelesaikan masalah. Berbekal semangat untuk menciptakan perubahan, Nuryati dilibatkan oleh Ibu Kepala Desa Rato, Siti Nur, S.Pd. dalam Program Literasi Moral yang digagas oleh Kelompok Perempuan PKK Desa Rato Bolo. Pada Senin, 09 Desember 2024, ia berdiri di hadapan 150 siswa SD Negeri Inpres Rato, mengedukasi pentingnya saling menghormati dan menjaga satu sama lain di antara siswa. Dalam kegiatan tersebut, Yati mengajak anak-anak untuk menumbuhkan empati, menjauhi perilaku yang menyakiti, dan menghargai perbedaan.
Nuryati juga melibatkan siswa secara aktif dengan permainan peran dan memberi pertanyaan kepada anak-anak agar berperilaku tidak merundung teman. Pesan Nuryati cukup sederhana namun mendalam: “Kita semua adalah teman. Tidak ada yang pantas dihina hanya karena berbeda.” Harapannya apa yang disampaikan oleh dirinya memberikan dorongan bagi para siswa, guru, dan orang tua, sekaligus menegaskan pentingnya menciptakan ruang aman di sekolah tanpa tindakan kekerasan dan perundungan.
Tentang Perundungan di Indonesia
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa perundungan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pada tahun 2024, lebih dari 20% anak usia sekolah melaporkan pernah mengalami perundungan, baik secara fisik, verbal, maupun digital. Dampak perundungan tidak hanya pada korban, tetapi juga pada pelaku dan saksi, yang semuanya berkontribusi pada lingkungan sosial yang kurang sehat.
Apa yang perlu kita lakukan, jika anak kita menjadi korban kekerasan dan perundungan? Bagi orang tua atau pendidik yang mendapati anak menjadi korban kekerasan dan perundungan, berikut adalah langkah-langkah sederhana yang bisa dilakukan:
- Menjadi pendengar yang baik. Berikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan pengalaman kekerasan dan perundungan yang dia alami sampai selesai, dan kita sebagai orang dewasa jangan terburu-buru bereaksi atau menunjukkan penghakiman atau memberi saran kepada anak. Cukup dengarkan dengan empati dan pastikan anak-anak merasa didukung.
- Berikan validasi kapada perasaan anak. Jelaskan kepada anak bahwa perasaan sedih, marah, malu atau takut yang mereka alami adalah wajar. Yakinkan kepada anak bahwa kita sebagai orang tua akan membantu menyelesaikan masalah tersebut sehingga ia merasa aman.
- Diskusikan dengan pihak sekolah untuk menemukan solusi. Pastikan sekolah terlibat secara kooperatif dan memiliki pikiran yang sama bahwa perilaku menyimpang anak-anak yang mengarah pada perundungan dan kekerasan tidak bisa dibenarkan atau dibiarkan.
Bagaimana dengan anak yang menjadi pelaku kekerasan dan perundungan?
- Pendekatan yang perlu dilakukan adalah pahami akar masalahnya. Penyimpangan perilaku anak seringkali adalah dampak dari perasaan tertekan dan kurang perhatian di lingkungan rumah. Sediakan waktu khusus untuk bicara dari hati ke hati dengan anak di ruang terbuka yang aman.
- Bangun perasaan empati anak dengan melibatkannya dalam kegiatan yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menghargai orang lain.
- Ketika anak menjadi pelaku perundungan dan kekerasan, berikan konsekuensi yang bersifat mendidik. Hindari hukuman fisik, tetapi berikan tanggung jawab yang relevan, seperti meminta maaf secara tulus.
- Fokuslah memantau perilaku anak setiap waktu. Pastikan anak menunjukkan perubahan melalui pengawasan yang konsisten.
- Apabila perilaku anak tidak berubah, pertimbangkanlah untuk berkonsultasi dengan psikolog anak.
Melangkah Bersama untuk Mencegah Kekerasan dan Perundungan
Apa yang dialami Nuryati dan anaknya adalah pengingat bahwa kita tidak boleh meremehkan perilaku perundungan dan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak kepada sesamanya. Perubahan perlu dilakukan dari langkah kecil yang penuh makna. Kami mengajak untuk kita semua, sebagai orang tua, pendidik, dan anggota masyarakat, bergandengan tangan untuk memastikan setiap anak tumbuh di ruang yang bebas dari rasa takut dan tekanan. Desa, sekolah, dan keluarga harus menjadi benteng pertama dalam melindungi mereka. Karena seperti yang ditunjukkan oleh Yati, seorang ibu bukan hanya pengasuh, tetapi juga pelopor perubahan. Dengan hati yang penuh cinta dan tekad, kita dapat menciptakan masa depan di mana setiap anak merasa dihargai, dilindungi, dan berdaya untuk mandiri.[]
*Ruwaidah Anwar, Pengurus La Rimpu dan Pendidik