Judulnya puitis dan terdengar romantis. Tetapi ini bukan tentang cinta monyet! Tulisan ini lahir dari asmara yang tidak berkesudahan terhadap Nahdhatul Ulama (NU), ormas  keagamaan yang menjadi bagian dari tumbuh kembang ideologi dan keberpihakan sosial saya. Ini adalah suara lirih dari salah seorang warga NU di pojok timur Indonesia. Tepatnya di salah satu provinsi termiskin (12.9%) yang sebenarnya dijanjikan kemakmuran sejak lama oleh kekayaan tambang dari perut bumi provinsi ini.

Ketika ide dan keputusan pemerintah  tentang konsesi tambang bagi ormas muncul,  saya sekonyong-konyong tidak setuju karena dua alasan:

Pertama, tambang harus dikelola oleh negara sesuai dengan bunyi UUD dan negara harus memastikan pengelolaan itu benar-benar untuk kepentingan rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Benar bahwa klausul ‘dikuasai oleh negara’ itu juga memberikan otoritas kepada negara untuk mendelegasikan kewenangannya terhadap siapa yang dipilihnya sesuai dengan syarat dan ketentuan. Termasuk kepada ormas. Tetapi klausul “sebesar-besar kemakmuran rakyat”  tersebut mengandung makna bahwa penunjukan tersebut harus didasarkan pada kalkulasi, kemampuan dan integritas, bukan hanya pada niat baik.

NU sejauh ini belum punya pengalaman secara organisatoris untuk ini. Bisnis pendidikan dan kesehatan yang sudah lama digeluti saja masih banyak yang belum berkembang.  Klaim bahwa ada personil di dalam NU yang pasti akan mampu menangani industri tambang ini masih berdasarkan niat baik dan pikiran positif saja.

Publik dan khususnya anggota NU belum mendapatkan penjelasan yang lebih memadai tentang bagaimana kira-kira mekanisme penanganan dan pengelolaan ini ke depan. Hal ini yang menurut saya masih menyebabkan keraguan yang sangat besar.

Kedua, tambang, sering kalau tidak selalu,  menyisakan kesengsaraan langsung kepada masyarakat lingkar tambang juga terhadap lingkungan yang dieksploitasi habis-habisan. Kapitalisme menang, masyarakat kecil selalu menjadi korban.  Belum lagi kalau dua hal yang menjadi concern saya, perempuan dan keluarga, masuk menjadi varian analisis yaitu tentang bagaimana marginalisasi dan victimisasi pengalaman perempuan dalam industri pertambangan ini.

Tulisan Pak Kiai Faqihuddin Abdul Qadir di laman facebook-nya dan pertimbangan Fatwa KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) menegaskan tentang aspek ini. Juga bagaimana ringkihnya institusi keluarga bagi pelaku dan pekerja tambang. Para ibu teman-teman anak saya semasa SD  di Mataram banyak curhat terkait tragedi keluarga mereka yang berjauhan dengan suami yang berada nun jauh di tambang emas PT. Newmont Sumbawa walaupun kehidupan mereka ‘sementara’ berlimpah kiriman uang.

Namun, dua alasan tersebut belum cukup kuat  sebagai dasar untuk saya menolak isu konsesi tambang yang konon PBNU (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama) rencananya akan menerima tawaran dari pemerintah tersebut. Kenapa? Juga karena ada dua alasan:

Pertama,  saya tidak punya pengetahuan yang memadai dan meyakinkan mengenai detail-detail pertambangan dan pengelolaannya serta pernak-pernik yang lain. Demikian juga tentang mekanisme pendelegasian wewenang dari negara kepada ormas. Jadi bisa saja ada hal positif yang akan didapatkan namun belum saya ketahui, dan hal positif ini bisa jadi lebih besar dari dampak negatif yang ditimbulkan sebagaimana yang selama ini saya dengar.

Kedua, saya berprasangka baik terhadap pilihan PBNU. Saya orang yang secara kultural dibesarkan dalam tradisi NU. Kakek saya orang NU banget dan NU minded. Hanya karena dia NU saya harus mondok di pesantren yang merupakan jantung NU yaitu di Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang di mana KH. Wahab Hasbullah sebagai pendirinya. Saya tidak direstui kuliah S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan harus ke UIN Sunan Ampel Surabaya, sekitar 31 tahun lalu, hanya karena  tradisi NU lebih kental di sana.

Saya harus NU pokoknya. Salat Tarawih 20 rakaat dan doa qunut bagi beliau tidak bisa ditawar-tawar. Bapak saya juga pengurus NU di Bima sana, yang sampai masa tuanya masih berjuang untuk kampus STIT Sunan Giri Bima yang berafiliasi ke NU. Saya dulu harus ber-PMII walaupun semua senior dan teman-teman saya asal satu daerah terbagi ke HMI dan IMM.

Ya, alasannya karena ini organisasi mahasiswanya orang NU. Ibu saya almarhumah dan saya juga masuk ‘tipis-tipis’ menjadi pengurus Badan Otonom NU, baik Fatayat maupun Muslimat. Mertua saya alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng, di mana  KH. Hasyim Asy’ari dan keluarga besarnya, termasuk Gus Dur dilahirkan.  Mertua saya adalah sahabat kakek saya sekaligus guru bapak saya. Dan masih banyak sekali latar belakang yang tidak perlu saya ceritakan.

Dengan upbringing semacam ini, saya selalu memiliki pikiran positif tentang NU dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Ketika orang menyerang NU karena berbagai pilihan dan kontroversi, saya juga akan merasa ikut tersinggung. Namun saya juga rasional dan mau menyadari jika tingkah polah sebagian warga maupun elite NU tidak sesuai dengan etika publik. Saya mencintai NU, saya menghormati para kiai dan bu nyai NU. Walaupun bagi NU, pastinya,  saya bukan siapa-siapa! Saya tidak banyak memberikan kontribusi yang berarti!

Baca juga: Perempuan, Desa, dan Modernisasi

Untuk menjembatani pikiran yang berlawanan di atas , maka saya mencoba membaca secara seimbang tulisan tentang mereka yang pro dan kontra konsesi tambang baik dari yang NU maupun bukan NU. Dengan berbagai perspektif. Saya senang sekali dengan perdebatan ini. Saya menghabiskan waktu beberapa hari ini untuk menyusuri diskusi di media sosial tentang isu ini. Baik di status facebook maupun ke semua komentar para peserta diskusi penanggap status-status  tersebut.

Mungkin belum firm posisi yang saya ambil, tetapi saya berani bersikap. Di NU, kami juga diajarkan untuk boleh berbeda , tetapi tidak boleh saling menghina. Dari bacaan berimbang itu saya semakin yakin dan berpihak pada mereka yang kontra konsesi tambang! Semakin saya membaca argumen kedua belah pihak, hati saya semakin condong pada  pilihan untuk kontra. Logika yang mereka bangun lebih kuat dan multidicipliner.

Pada 25 Juli 2024, akhirnya PP Muhammadiyah juga menerima izin tambang dari pemerintah

Logika yang disusun oleh mereka yang pro menurut saya berkutat pada masalah bagaimana bisa keluar dari lingkar kemiskinan organisasi. Lalu bagaimana tambang ini bisa diserahkan kepada orang yang lebih amanah? Karena justru selama ini tambang menyengsarakan masyarakat akibat salahnya pengelolaan. Jika diserahkan kepada yang lebih amanah akan lebih bisa disalurkan untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat dan lebih meminimalisir tingkat destruksi lingkungan. Demikian, kira-kira!

Alasan ini sangat mulia dan khas keluar dari kelompok orang-orang baik yang memiliki pikiran yang sangat positif. Namun hanya pikiran positif tidak selalu menyelamatkan walaupun tentu menjanjikan pahala. Waduh, positif thinking dan alasan keluar dari kemiskinan adalah dua alasan yang agak naif di hadapan raksasa tambang (bekas) yang  sepertinya berbahaya ini. Pikiran positif dalam hal ini harus disertai dengan kalkulasi yang benar-benar rigid. Dan tentu saja kemampuan yang benar-benar tepat dan operasional (dua hal yang belum saya dapatkan penjelasannya dari semua tulisan pihak yang pro).

Baca juga: Tangan Kecil Orang-Orang Biasa

Saya pernah mengenal banyak orang yang sangat baik dan positif tetapi hidupnya pernah mengecap penjara dan atau berakhir sengsara  justru karena terlampau baik dan mengira orang lain sebaik dan se-’lugu’ mereka.

Paling tidak, sampai saya menulis ini, saya masih berdiri di pihak yang kontra! Bisa saja posisi yang saya ambil ini karena pengalaman hidup mungkin lebih banyak kesamaan dengan mereka yang kontra daripada mereka yang pro. Bukan berarti pilihan ini lebih tepat! Apalagi di hadapan mereka yang berseberangan.

Saya bukan aktivis lingkungan, walaupun saya juga ikut-ikutan untuk tidak menggunakan pembalut sekali pakai lebih kurang 7 tahun terakhir ini sebagai salah satu cara mengurangi limbah. Ikut menanam mangrove di beberapa bibir pantai untuk melestarikan ekosistem laut dan mencegah abrasi termasuk di depan perpustakaan komunitas yang kami bangun di Pantai Ule, tepatnya di Kalikuma Library and Educamp di Kota Bima sana.

Paling benci plastik dan puntung rokok yang dibuang sembarangan. Saya bisa merasa bahwa lingkungan di mana saya hidup sekarang sudah tidak ramah seperti saat saya dulu masih kecil. Sungai-sungai sudah sangat kotor, gunung gundul, parit-parit banjir di musim hujan dan bau menyengat di musim kemarau.

Saya meyakini bahwa amal jariyah yang paling berharga adalah meninggalkan lingkungan yang lebih baik atau paling tidak sama kondisinya dengan sekarang kepada anak cucu kita kelak. Jadi kekhawatiran terhadap rusaknya  lingkungan ini bukan ke-’lebay’-an yang tidak memiliki dasar spiritual.

Ehh, tapi banyak barang yang Anda gunakan itu bahannya dari tambang, lho! HP, TV, Jam Tangan, misalnya! Kamu juga suka perhiasan emas. Itu, Islamic Centre yang megah di NTB juga dibangun dari CSR tambang Newmont. Oh ya, mereka kasih beasiswa juga untuk pendidikan dan penelitian. Begitu kata mereka yang pro!

Terus terang, serangan ini yang membuat saya terpojok. Saya belum bisa menjawab dengan tepat. Saya menyadari bahwa tambang memiliki  benefit. Dia melengkapi kebutuhan hidup manusia. Namun ini bisa menjadi alasan kuat juga agar tambang ini benar-benar ditangani oleh mereka yang punya niat baik sekaligus kalkulasi tepat dan kemampuan yang betul-betul memadai. Negara harus memastikan ini!

Ormas NU,  belum memiliki sejarah atau precedence untuk kalkulasi dan kemampuan ini sepanjang saya ketahui, walaupun memiliki niat baik.  Justru precedence-nya adalah NU pernah mengeluarkan keputusan  atas ‘keharaman’ tambang pada  Sidang Bahtsul Masail PBNU, 10 Mei 2015. Jadi kalau belum sampai 10 tahun kemudian menjadi halal, dengan berbagai argumentasi, mestinya perlu me-nasakh dulu keharaman yang pernah diputuskan ini. Tentu saja berdasarkan bahtsul masail juga. Bukan pendapat personal. Sehingga paling tidak NU memiliki landasan ontologis (hakikat) dan epistemologis dasar pembentukan pengetahuan) sebelum beranjak langsung ke aksiologis (kegunaan) untuk menjustifikasi konsesi tambang. Kamif menunggu ini!

Satu lagi! Dulu  memang NU pernah dikritik tajam karena menjadi satu-satunya ormas yang berani terdepan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Kalau sekarang kontroversial lagi itu wajar,  kilah mereka yang pro! Eit, Pancasila dan Pertambangan  tidak apple to apple untuk diperbandingkan!

Saya lebih senang menjadi warga NU yang terkenal dengan kebersahajaan dan kedekatannya dengan rakyat kecil. Saya bahagia dan merasa merdeka ketika NU menjaga secara proporsional  keberjarakannnya dengan ‘mereka yang penuh dengan tricks’ dan menjadikan inkonsistensi sebagai cara yang paling utama atau bahkan satu-satunya untuk survive.

Tidak ada yang salah juga dengan  menghidupkan umat melalui cara mengumpulkan sumbangan dari warga NU sendiri! Metode ini lebih aman dan membahagiakan! Saya juga diajarkan di pesantren NU bahwa kaya itu bukan semata-mata tentang kepemilikan materi. Tetapi yang lebih penting adalah tentang kepuasan hati dan kebermanfaatan diri (mungkin terdengar lugu dan naif, tapi saya bersyukur)![]

Atun Wardatun, Guru Besar Hukum Keluarga Islam di UIN Mataram dan Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan)