Bima, 29 Maret 2025 — Gerimis tipis masih menggelayut di udara sore itu. Hujan deras disertai angin satu jam sebelumnya tidak menyurutkan 24 orang Fasilitator Desa dampingan La Rimpu untuk berkumpul di Kalikuma Library and Educamp.

Perempuan – perempuan hebat ini berasal dari kelompok-kelompok perempuan dari lima desa yang sedang didampingi oleh La Rimpu. Mereka adalah Perempuan Penggerak Generasi (PPG) Desa Renda, Kelompok Perempuan Srikaya Roka, Kelompok Perempuan Salungka Kalampa, Matupa Dadibou, dan Kelompok Perempuan Papaya Penapali. 

Mereka datang untuk mengikuti kegiatan Buka Puasa Bersama dan Penguatan Kapasitas tentang “Kesetaraan Gender sebagai Kunci Pembangunan dan Perdamaian.” Kegiatan ini terselenggara atas kolaborasi Sekolah Rintisan Perempuan (La Rimpu) bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia) sebagai upaya memperkuat pemahaman gender dan peran perempuan dalam pembangunan desa.

Direktur La Rimpu, Prof. Atun Wardatun, Ph.D sedang memberikan sambutan

Kegiatan tersebut dibuka secara langsung oleh Direktur La Rimpu, Prof. Hj. Dr. Atun Wardatun. Beliau menekankan pentingnya membongkar miskonsepsi seputar kesetaraan gender. “Kepemimpinan bukan soal jenis kelamin, tetapi soal kompetensi dan kapasitas. Kesetaraan gender bukanlah bentuk perebutan kekuasaan oleh perempuan terhadap laki-laki, melainkan sebuah kerja sama yang adil,” tegas Prof. Atun. 

Beliau juga mempertegas bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjaga perdamaian, seperti yang terlihat dari pola penyelesaian konflik dalam rumah tangga.

Sambutan dilanjutkan oleh Prof. H. Dr. Abdul Wahid yang merupakan Pembina La Rimpu. Beliau mengaitkan nilai-nilai kesetaraan dengan prinsip-prinsip Islam. Aba Du Wahid, begitu beliau disapa, menjelaskan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab besar dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis, tidak sekadar menjadi pelengkap dalam struktur sosial.

“Perempuan adalah mercusuar perubahan. Mereka memiliki kepekaan dan kekuatan pendekatan yang lembut, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan sosial seperti pernikahan anak, konflik antar-generasi, hingga ketimpangan ekonomi,” ujar Aba Du Wahid.

Baca juga: Perkuat Agensi Perempuan, La Rimpu Menggelar Pelatihan Advokasi dan Kepemimpinan Perempuan

Kegiatan dilanjutkan dengan peserta menyaksikan film pendek “The Impossible Dream.” Film ini memotret ketimpangan peran laki-laki dan perempuan di rumah dan tempat kerja. Diskusi pasca-penayangan menggugah kesadaran banyak peserta tentang ketidakadilan yang selama ini dianggap wajar.

Seorang peserta dari Desa Renda berbagi pengalamannya, “Saya anggap biasa kalau anak perempuan yang bantu masak, cuci, jaga adik. Tapi setelah menyaksikan film ini dan mengikuti beberapa kelas La Rimpu, saya mulai tersadar bahwa ini bukanlah hal alami. Ini hasil budaya.”

Pembedaan perlakuan terhadap anak-anak perempuan dan laki-laki membuka pintu diskusi yang mendalam terkait pembagian peran di ranah domestik. Hampir seluruh peserta bersuara tentang perlunya perubahan pola pengasuhan yang mengarah pada keadilan gender, dimana tugas-tugas pengasuhan dan yang berkaitan dengan kebutuhan bersama tidak harus dibebankan kepada perempuan saja, tetapi berbagi peran yang setara. 

Kegiatan ini tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga ruang aman untuk berbagi pengalaman dan memperkuat solidaritas antar perempuan dari desa yang berbeda. Meski beberapa peserta masih mempertahankan pandangan konservatif soal peran laki-laki dan perempuan, antusiasme mereka menunjukkan semangat untuk belajar dan berubah.

Baca juga: Untuk Suksesnya Program, La Rimpu Hadir dalam Pertemuan Kemitraan dengan UN Women

Kegiatan ini menghasilkan capaian penting: peserta mulai memahami perbedaan gender dan seks, mengenal konsep kasama weki ro cua angi (kesalingan dan kesetaraan), serta memahami posisi mereka sebagai fasilitator perdamaian di desa masing-masing.

Sebagai fasilitator, saya sendiri belajar bahwa pertemuan Ini bukan sekadar pelatihan, tapi perjalanan bersama membangun kesadaran kolektif, dimana perubahan tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi kita butuh komunitas yang saling menguatkan.

La Rimpu dan AMAN Indonesia berharap kegiatan ini dapat menjadi pijakan awal untuk gerakan yang lebih besar: memperkuat kapasitas perempuan desa sebagai agen perubahan dalam pembangunan dan perdamaian. Sebab, dari desa-desa kecil di Bima inilah, narasi baru tentang keadilan dan kesetaraan bisa tumbuh dan mengakar. (ARA)

*Ruwaidah Anwar, Fasilitator La Rimpu