Semua kita memiliki impian dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik, lebih nyaman, lebih tenang, dan tentunya lebih bahagia. Dalam mewujudkan impian dan harapan itu, perlu kita sadari bahwa Tuhan memberi wewenang kepada kita sebagai seorang hamba, pada tataran berusaha dan berjuang sampai batas ikhtiar.
Tuhan tidak menginginkan hamba-Nya keluar dan melampaui batas-batas ikhtiar dalam memperjuangkan keinginan dan obsesinya. Karena yang paling tahu tentang sesuatu yang terbaik buat hamba-Nya hanya Tuhan, maka Tuhan tidak mau kehilangan hak intervensi terhadap usaha dan ambisi hamba-Nya.
Ikhtiar menjadi jalan ketuhanan yang harus dan mesti ditempuh oleh seorang hamba, hanya untuk menyadarkan kita agar senantiasa berserah kepada-Nya di ujung usaha, dan tidak pula mengambil jalan pintas yang melampaui batas-batas ikhtiar yang diberikan Tuhan. Yang pasti ruang ikhtiar yang diberikan Tuhan kepada kita dapat menjadi arena untuk membuktikan diri seberapa besar keinginan dan hasrat kita terhadap obyek yang sedang kita perjuangkan.
Banyak bukti empirik dari kondisi perjuangan seorang hamba yang sering melampui batas-batas ikhtiar terutama dalam memperjuangkan keinginan pribadi, misalnya saat mengikuti kompetisi, saat keinginan meraih prestasi, saat dalam kondisi harus memilih, saat dalam keinginan meraih kedudukan, saat dalam berbisnis, maupun saat dalam upaya meraih prestise, tidak sedikit kita saksikan gerakan yang melampaui batas ikhtiar, bahkan sampai menerjang batas-batas kemanusiaan hingga batas-batas kebenaran.
Biasanya seseorang yang melampaui batas ikhtiar dalam meraih prestasi, dalam berkompetisi, dalam berbisnis, atau bisa jadi dalam melancarkan perjalanan ibadahnya akan sanggup membeli segalanya, membayar apa saja, dan bahkan membalikkan fakta sekalipun. Berbeda dengan perjuangan yang tidak melampaui batas ikhtiar, akan berupaya maksimal pada kemampuan dirinya, dan menyandarkan segala daya dan usahanya kepada takdir Tuhan lewat doa dan tawakal (penyerahan diri kepada Tuhan) atas apa yang Tuhan janjikan dan berikan.
Konsep agama yang menyatakan bahwa manusia harus tetap komitmen pada batas ikhtiar mengandung makna bahwa batas perjuangan itu mengacu pada usaha dan tindakan dalam kerangka dan bingkai volume kemampuan diri, sementara hasil akhirnya mestinya diserahkan sepenuhnya kepada takdir atau kehendak Tuhan.
Manusia diharapkan melakukan usaha semaksimal mungkin dalam mencapai tujuan atau mengatasi tantangan, sesuai dengan batas dan garis ikhtiar, hal Ini lebih kepada anjuran untuk bekerja keras, belajar, berdoa, dan berbagai bentuk upaya yang manusiawi lainnya.
Telah banyak iktibar yang diperlihatkan Tuhan dari hasil akhir sebuah upaya yang melampaui tindakan ikhtiar manusia. Sebut saja Fir’aun, di dalam usahanya menempatkan diri sebagai seorang yang paling kuasa di hadapan manusia, dia telah melakukan upaya yang melampaui batas usaha ikhtiar, akhirnya dia memimpin dengan kekuasaan yang melampaui batas di hadapan rakyatnya, sehingga tidak saja menganggap dirinya sebagai raja, malah melakukan aksi tak rasional dengan mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Musailamah al-Kadzzab yang melakukan ikhtiar yang melampaui batas untuk mendapatkan pengaruh yang luar biasa dan menginginkan pengaruhnya menyamai Nabi saw, akhirnya dia tidak memposisikan dirinya sebagai sahabat ataupun tabiin, malah mengangkat dirinya sebagai nabi dan mendirikan agama baru di hadapan para pengikutnya dengan ikhtiar yang melampaui batas rasional.
Kedua contoh nyata di atas adalah akhir dari upaya yang melampaui batas, yakni melampuai puncak ikhtiar, lalu melakukan hal-hal yang di luar nalar dan rasional untuk mewujudkan ekspektasi dirinya terhadap apa yang diimpikan dan dinginkan dalam hidupnya. Begitulah kalau manusia kehilangan konsep tentang ikhtiar, bahwa ikhtiar itu bukan melakukan hal-hal yang melampaui batas, tetapi berusaha dalam batas-batas kemampuan yang dimiliki
Untuk lebih memahami batas kekuatan ikhtiar yang harus kita lakukan, perlu kita simak baik-baik apa yang Tuhan firmankan di dalam surah al Jumu’ah ayat 10, ”fa idzâ qudliyatish-shalâtu fantasyirû fil-ardli wabtaghû min fadllillâhi wadzkurullâha katsîral la‘allakum tufliḫûn”. Apabila salat (Jum’at) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Tuhan, dan ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.
Ayat di atas sangat terang dan jelas tentang batas perjuangan yang kita lakukan hanya sampai pada ikhtiar, di mana perjuangan itu tidak boleh menerjang batas-batas prerogatif Tuhan. Dengan diksi yang indah Tuhan katakan, carilah karunia Tuhan dan ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya.
Artinya didalam berusaha dan berjuang, boleh kita banting tulang dengan semaksimal mungkin, asal aksi itu kita lakukan hanya sampai batas ikhtiar, dan Tuhan memagar ikhtiar itu dengan diri-Nya (dalam proses berjuang ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya), agar kita tidak melakukan hal-hal yang melampaui batas yang Tuhan telah tetapkan dan gariskan.
Setelah melakukan ikhtiar, penting untuk memasrahkan hasil akhirnya kepada Tuhan. Keyakinan bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Ilahi membantu menenangkan hati dan mengurangi kecemasan. Dan konsep tawakkal itulah yang akan membentuk sikap untuk siap menerima hasil apapun yang terjadi, baik sesuai dengan harapan atau tidak. Menerima takdir dengan lapang dada membantu dalam menjaga keseimbangan emosi dan spiritual.
Dalam berbagai tradisi keagamaan, konsep ikhtiar dan tawakkal diajarkan sebagai cara untuk mencapai keseimbangan antara usaha manusia dan kehendak Ilahi. Ini membantu dalam menjalani kehidupan dengan lebih tenang, bijak, dan tentunya akan menjaga keharmonisan hati dalam hubungannya dengan Tuhan.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
*Maimun Zubair Akademisi dan Wakil Rektor II UIN Mataram