Budaya berpakaian ala orang Bima salah satunya rimpu, yakni memakai sarung sebagai tutup kepala bagi perempuan. Rimpu mirip praktik berpakaian jilbab dalam tradisi masyarakat Muslim pada umumnya. Berpakaian rimpu adalah budaya khas masyarakat Bima, dipengaruhi oleh budaya Melayu lainnya. 

Umumnya, kaum perempuan memakai rimpu untuk menutup auratnya sebagaimana ajaran Islam yang mengajarkan bahwa setiap kaum perempuan yang sudah aqil balik harus menutup auratnya di hadapan orang yang bukan muhrimnya.

Dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab, ayat 59, Allah SWT berfirman: “Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam tradisi berpakaian orang Bima, rimpu adalah jilbabnya wanita (dou siwe), baik ibu-ibu maupun para gadis remaja atau gadis dewasa, pada masa lampau, sebelum inovasi mengenai penutup kepala ini secanggih sekarang ini. Konon, rimpu yang dikenakan oleh para perempuan suku Mbojo ini mulai ada sejak abad ke-17, seiring gencarnya Islamisasi Bima pada era itu.

Sekarang, rimpu kembali menjadi trendi dan viral dengan adanya festival bertema rimpu. Sebahagian besar ibu-ibu dan para gadis di Bima Raya (Kota Bima dan Kabupaten Bima, juga Dompu) ambil bagian aktif dalam festival, membuat rimpu lebih populer dan jadi trendi di tengah ketatnya persaingan mode pakaian sekarang ini.

Bahkan, Pemkot Bima menetapkan rimpu dan sambolo (ikat kepala bagi laki-laki Bima) jadi pakaian wajib bagi pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kota Bima.

Hanya saja sayang, praktik rimpu ini belum menyentuh hal esensial. Hasil diskusi kecil-kecilan penulis dengan beberapa ibu yang mereka memakai rimpu, ternyata kesimpulannya bahwa ketika memakai rimpu tersebut mereka masih setengah hati.

Maksud dari istilah setengah hati adalah bahwa dou siwe Mbojo, khususnya para perempuan pegawai di kantor pemerintah mengenakan rimpu hanya pada saat apel pagi saja, setelah itu mereka melilitkan (saremba) saja di leher atau di badan mereka.

Mengapa setengah hati? Alasannya praktis, karena mereka memakai rimpu setelah didahului dengan memakai jilbab di dalamnya. Artinya rimpu sekedar hiasan di luar. Jika tidak diawali dengan berjilbab di dalamnya, maka sarung untuk rimpu tersebut akan terus mereka pakai selama mereka berada di luar rumah.

Lambat laun, rimpu hanya dipakai pada acara resmi kenegaraan seperti pelantikan, serah terima jabatan, upacara hari-hari nasional, dan acara sosial keagamaan seperti mbolo weki (musyawarah), wa’a co’i (antar mahar), resepsi nika ro neku (pernikahan), kiri loko (ritual kehamilan), suna ro ndoso (sunatan), rawi mori ro made (ritual daur hidup).

Akhirnya, rimpu sekarang ini hanya jadi perkakas upacara atau ritual, bukan pakaian sehari-hari sebagaimana dipraktikkan oleh dou siwe tempo dulu.

Kota Bima, 04 Mei 2024