Women’s rights are human rights” adalah prinsip dasar yang menekankan pentingnya kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia (HAM) serta upaya penghapusan subordinasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Ungkapan di atas dipopulerkan oleh Hillary Clinton dalam pidatonya di konferensi Dunia ke-4 PBB tentang perempuan di Beijing, China 1995. Ini adalah pengingat bahwa hak-hak perempuan bukanlah sekedar pelengkap, kelas kedua, atau terpisah dari hak asasi manusia, melainkan bagian penting yang terintegrasi ke dalam hak asasi manusia universal yang layak diterima oleh setiap orang.

Dalam konteks hak asasi, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik tanpa diskriminasi. Namun, fakta bahwa perempuan masih mengalami subordinasi dan peminggiran secara sosial budaya menunjukkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan gender masih meluas di masyarakat kita. Hal ini turut berkontribusi membatasi akses perempuan terhadap pendidikan, sumber daya ekonomi, dan rentan mengalami diskriminasi kekerasan berbasis gender (gender based violence).

Baca juga: Perempuan, Desa, dan Modernisasi

Selain itu, perempuan masih terpuruk dan berusaha mendobrak stigma dan stereotip kultur masyarakat yang kental akan budaya patriarki tersebut. Stereotip gender yang diskriminatif itu telah berdampak membatasi perempuan di ruang-ruang publik seperti representasi mereka dalam kepemimpinan, dan keterlibatan mereka dalam proses-proses pengambilan keputusan dan perencanaan kebijakan publik yang responsif gender.

Stigma perempuan sebagai makhluk domestik, juga telah menghambat bahkan “mematikan” agensi positif mereka sebagai agen perdamaian dan perubahan dimana perempuan seharusnya menjadi pilar yang paling penting dalam mendorong kohesi sosial dan ketangguhan masyarakat.

Dengan demikian, pengarusutamaan kesetaraan gender bukan lagi hanya persoalan menuntut keadilan dan kesetaraan bagi kelompok atau kelas sosial tertentu, melainkan sudah menjadi kunci pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Studi menunjukkan bahwa kesetaraan gender adalah prediktor terkuat stabilitas suatu negara daripada ekonomi, agama, dan demokrasi. Selain itu, negara-negara yang memiliki cara pandang gender yang inklusif (gender inclusivity) cenderung berpeluang lebih besar untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai (International Peace Institute, 2016).

Inklusif gender, pada akhirnya, seharusnya menjadi “radar” (diagnostic tool) sebagai kacamata dalam melihat realitas sosial di mana radar ini akan mendeteksi kemudian memberi suara peringatan di kepala kita (warning siren) setiap kali ada tindakan sosial, pengambilan keputusan, dan perumusan kebijakan publik yang tidak responsif gender atau diskriminatif terhadap suatu kelompok tertentu, terutama perempuan dan kelompok rentan lainnya. Cara pandang gender yang inklusif ini menuntut semua pemangku kepentingan untuk tidak meninggalkan siapapun (no-one left behind) dalam proses-proses pembangunan berkelanjutan.

Lalu, sudah sejauh mana Indonesia memperjuangkan kesetaraan gender sebagai pilar pembangunan? United Nations (UN) atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan berbagai instrumen internasional dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) atau konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan The Beijing Declaration and Platform for Action (1995) yang mengedepankan pemberdayaan perempuan dan kerangka kebijakan global dalam upaya mewujudkan hak asasi manusia perempuan serta deklarasi hak asasi manusia universal lainnya sebagai landasan utama bagi keadilan sosial dan sebagai faktor kunci yang mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.

Baca juga: Percakapan Keluarga: Girl’s Talk, Bullying dan Memeluk Keunikan Diri

Selain itu, UN Security Council Resolution (UNSCR) atau Dewan Keamanan PBB secara spesifik mengeluarkan Resolusi 1325 on Women, Peace, and Security (WPS) atau Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan, di mana resolusi ini menegaskan peran penting perempuan dalam membangun dan merawat perdamaian, mulai dari pencegahan konflik hingga rekonstruksi pasca konflik, serta partisipasi setara, aktif dan bermakna mereka dalam upaya membangun perdamaian dan meningkatkan resiliensi masyarakat.

Alasan utama mengapa Resolusi 1325 ini dikeluarkan adalah pertama perempuan seringkali menjadi kelompok yang paling terdampak apabila terjadi konflik, kedua, perempuan masih tidak dilibatkan dalam meja perundingan damai dan upaya-upaya resolusi konflik karena mereka dianggap sebagai makhluk domestik dan tidak kompeten dalam persoalan konflik yang dianggap sebagai domain atau ranahnya laki-laki saja, ketiga, perempuan kerap kali menjadi target utama saat perang dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender yang tinggi saat terjadi konflik komunal, keempat, perempuan pada kenyataannya justru banyak yang mendorong upaya perdamaian di akar rumput masyarakat, namun tidak direkognisi.

Di Indonesia, United Nation Women (UN Women) telah bekerjasama dengan pemerintah untuk memastikan implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tersebut melalui Peraturan Presiden No 18 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) dan juga Peraturan presiden No 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme dan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Kepada Terorisme (RAN PE).

RAN P3AKS sendiri menekankan tiga pilar utama: Pertama, pencegahan konflik, di mana pilar ini meliputi penguatan mekanisme penanganan konflik berbasis masyarakat dan sensitif gender; penguatan dialog; membangun kohesi sosial; pengembangan kapasitas kelembagaan yang responsif gender; dan wawasan moderasi beragama. Kedua, penanganan konflik, yaitu mendorong implementasi kebijakan dan mekanisme untuk pemulihan korban
perempuan dan anak dalam konflik sosial; serta perlindungan perempuan Pembela HAM. Ketiga, pemberdayaan dan partisipasi, yaitu keterlibatan secara aktif dan bermakna perempuan dalam mendorong perdamaian dan kemandirian ekonomi korban konflik sosial (Peraturan Presiden No 18 tahun 2014 RAN P3AKS).

Sementara itu RAN PE juga memiliki tiga pilar utama: Pertama, meliputi pencegahan (kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi). Kedua, penegakkan hukum, perlindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional. Ketiga, kemitraan dan kerjasama dalam pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme kekerasan yang mengarah kepada terorisme dengan mengedepankan prinsip-prinsip utama yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), Supremasi Hukum dan keadilan, Pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak Anak, Keamanan dan keselamatan, serta Tata kelola pemerintahan yang partisipatif, kebhinekaan dan kearifan lokal (Peraturan presiden No 7 tahun 2021 RAN PE). Kedua kebijakan ini memiliki penekanan secara khusus akan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan perdamaian berkelanjutan.

Berbagai Kementerian dan Lembaga di Indonesia terus berupaya dalam mendorong implementasi kebijakan tersebut dalam berbagai bentuk program dan inisiatif berbasis masyarakat, antara lain program Desa Sadar Konflik dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Desa Moderasi Beragama dari Kementerian Agama RI, Desa Damai dan Berbudaya dari Kementerian Desa RI, Desa Ramah Perempuan dan Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Desa Pro Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, dan Desa Siap Siaga dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Semua inisiatif dan program ini menunjukkan bahwa pemerintah cukup serius menempatkan masalah akan pentingnya kesetaraan gender dalam pembangunan berkelanjutan.

Namun disisi lain, semua program ini dalam praktiknya tumpang tindih satu sama lain dan terpisah, sehingga perlu adanya kolaborasi antar kementerian dan lembaga dalam mendukung kebijakan ini untuk menciptakan masyarakat yang damai dan inklusi dengan menggunakan kesetaraan gender sebagai “radar” dalam pembangunan berkelanjutan.

*Nurdin Maskur, Pengurus Yayasan La Rimpu dan Alumni CRCS UGM

Ilustrasi: Kompas.com