Saya pertama kali  bertemu secara fisik dengan Erita Ibrahim (selanjutnya Ibu Erita) pada saat saya menjadi fasilitator program Desa Damai kerja sama La Rimpu, Wahid Foundation, dan UN Women di desanya: Dadibou, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. Ya, desa itu, desa yang berada di jantung lalu lintas Kabupaten Bima. Desa yang menjadi bagian dari Kantor Bupati Bima hari ini.

Ini tentang kisah yang menurut saya bisa kita jadikan teladan, bagaimana peran perempuan di akar rumput mampu menjadi “semacam suluh” untuk perempuan dan masyarakat luas. Saatnya kita speak up dan bersuara tentang Ibu Erita untuk kerja-kerja perdamaiannya untuk masyarakat Dadibou yang baru-baru ini terlibat dalam konflik.

Baca juga: Namanya Erita, Erita Ibrahim, Ibu Rumah Tangga

Dikutip dari beberapa media, konflik yang melibatkan warga Dadibou terjadi sekitar tahun 2017 dan tahun 2023 lalu. Pada 2017, Konflik Talabiu, Penapali, dan Dadibou: Enam Warga Tertembak (Koran Stabilitas/29/5/2017). Selanjutnya konflik terjadi Warga Tiga Desa di Bima NTB Bentrok, 1 Orang Terkena Panah (Kompas/24/11/2023). Membaca dua berita di atas, kita merasakan aura konflik dan situasi yang kerap dihadapi masyarakat Dadibou yakni hidup dalam bayang-bayang konflik.

Situasi sulit memang, namun itulah kenyataannya. Konflik-konflik yang terjadi, meletus dengan beragam sebab musabab yang sulit untuk dijelaskan seiring berkembangnya isu narkoba, by design, dan lainnya. Centang perenang keadaan ini menjadi cambuk bagi Ibu Erita untuk keluar dari situasi ini. Atau minimal, menjadi suluh penerang di tengah gelapnya situasi konflik yang dihadapi.

Dari Aktivisme ke Gerakan-Gerakan Lain

Geliat aktivitas sosial yang dilakukan Ibu Erita selama ini tidak terlepas dari masa mudanya yang aktif di beberapa organisasi. Ia belajar dan membangun kapasitas diri di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ketika kuliah di Universitas Islam Malang. Selama di PMII, ia membangun jaringan dan bertemu dengan banyak individu-individu yang mempengaruhinya.

Aktivitasnya sekarang ia merupakan Koordinator Pendamping PKH di Kecamatan Woha. Dengan bermodalkan kemampuannya berkomunikasi, jaringan, dan kepemimpinan yang tumbuh dalam jiwanya ia banyak membantu keluarga kelas ekonomi rendah untuk berdaya secara ekonomi dan sosialnya. Di sela-sela kesibukannya itu, Ibu Erita juga menjadi pegiat sosial dengan membantu memfasilitasi yayasan dan lembaga sosial LKSA LPEM Bima untuk masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan BPJS gratis dan biaya pengobatan.

Baca juga: Kegiatan Musrenbangdes Perempuan

Selain itu, titik balik dari Ibu Erita ialah ketika La Rimpu mendampingi Desa Kalampa-Dadibou pada 2020 lalu. Melalui berbagai kegiatan ini, Ibu Erita semakin terbiasa untuk berkomunikasi dan memobilisasi perempuan di Desa Dadibou untuk terlibat dalam upaya bina damai. Kelompok perempuan di Dadibou semakin kompak dan solid, hal ini terbukti dengan hadirnya kelompok perempuan baru dengan beragam nama dan latar belakang.

Lebih lanjut, setelah terlibat dalam beberapa kegiatan La Rimpu Kalampa-Dadibou tersebut, analisis dan pemikiran Ibu Erita semakin baik tentang permasalahan di desanya. Pada pertemuannya dengan saya, Ibu Erita fasih berbicara tentang jalan keluar untuk desanya yang sebelumnya dilanda perubahan sosial dengan hadirnya proyek pembangunan Kantor Bupati Bima yang mengakibatkan lahan sawah produktif masyarakat menjadi kantor tersebut. Dengan demikian, masyarakat yang sebelumnya menggantungkan diri pada sektor pertanian, menjadi pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan. “Menurut saya, inilah awalnya masalah judi online dan narkoba yang menimbulkan konflik sosial itu muncul,” ujarnya. 

Analisis sosial seperti ini sangat dibutuhkan sehingga kita tahu bagaimana munculnya permasalahan sosial itu muncul. Sebab, fenomena sosial yang terjadi dan tampak di permukaan jelas memendam gunung es sebabnya sebagai latar belakang masalahnya.

Mendamaikan lewat Kampo Mahawo

Konflik yang terjadi di Desa Dadibou baru-baru ini merupakan kejadian baru yang beberapa tahun Desa Dadibou tidak pernah meletus konflik besar. “Konflik yang terjadi memang cepat,” jelasnya. Konflik dua desa Dadibou dan Penapali itu, Ibu Erita menjelaskan karena adanya dugaan perdagangan narkoba. Akhirnya ada satu pihak merasa dirugikan dan akhirnya konflik tersebut melebar dan luas.

Titik lain dalam hidup Ibu Erita ialah ketika Program Kampo Mahawo (Desa Damai) hadir di Kabupaten Bima. Program hasil kerja sama antara Wahid Foundation dan La Rimpu tersebut melatih ibu-ibu untuk sama-sama terlibat dalam peningkatan agensi dan kapasitas bertindak kelompok perempuan di desa-desa.

Pada saat pelatihan Program Kampo Mahawo itu, konflik meletus di luar gedung pelatihan. Seolah-olah seperti “kita belajar perdamaian di kelas, masyarakat sedang berkonflik di luar kelas”. Gambaran semacam itu menjadi pemandangan masyarakat Dadibou saat itu. Bisa pembaca bayangkan bagaimana ketegangan yang terjadi saat itu.

Melalui Kampo Mahawo ini, saat puncaknya konflik Dadibou dan Penapali, Ibu Erita menginisiasi video perdamaian bersama antara perempuan Dadibou dan perempuan Penapali. Dengan video perdamaian tersebut, pesan-pesan perdamaian antara elemen masyarakat Dadibou dan Penapali tersebar di media sosial yang dilihat hingga lebih dari satu juta orang saat itu.

Penyebaran konten-konten perdamaian dan lewat lagu-lagu perdamaian dengan anak-anak muda Desa Dadibou, Ibu Erita menginisiasi lahirnya kelompok Majelis Shalawat di desanya. “Ini bukan tanpa alasan, kalau anak muda disuruh gabung di Majelis Taklim ndak mau, spek-nya ibu-ibu,” katanya pada saya.

Erita Ibrahim setelah mengikuti salah satu Program Desa Damai (Kampo Mahawo)

Kelompok Majelis Shalawat ini menjadi suatu ruang publik anak muda Desa Dadibou untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan. Dari konflik Dadibou dan Penapali, Ibu Erita juga mengajak Pemerintah Desa untuk duduk bersama dan brainstorming antar berbagai elemen masyarakat dan Pemerintah Desa untuk membicarakan solusi terbaik dan jalan keluar dan konflik dua desa ini. Ibu Erita melalui jaringannya bersama kelompok perempuan yang sama-sama terlibat dalam Program Kampo Mahawo.

Pasca konflik dua desa tersebut, Ibu Erita melalui Program Kampo Mahawo kembali menginisiasi hadirnya Kelompok Perempuan MATUPA untuk membangun masa depan perempuan Dadibou untuk agensi pendamai dan suluh yang setara dalam pergaulan sosial masyarakat Dadibou. Kehadiran Kampo Mahawo sebagai program di desanya mungkin singkat, tapi lewat Kelompok Perempuan MATUPA, perempuan di Desa Dadibou ke depan akan terus menjadi agen pendamai bukan agen konflik.

Ilustrasi: Kalikuma Studio

*Ang Rijal Anas, Orang biasa tinggal di Kota Bima