Kemudahan memperoleh informasi itu, nampaknya memiliki dampak kurang baik terhadap eksistensi perpustakaan sebagai tempat untuk menemukan referensi pembelajaran.  

Pun demikian berpengaruh terhadap minat baca buku pada kalangan milenial maupun GenZ, baik itu yang masih berstatus pelajar, mahasiswa dan profesional muda lainnya.

Peran perpustakaan seakan mulai terdegradasi dengan hadirnya teknologi internet era masa kini. Bagi anak-anak, pelajar, dan mahasiswa, perpustakaan mungkin sudah hampir diabaikan karena media sosial sudah merambah semua kalangan masyarakat.

Bahkan untuk membaca, menyelesaikan satu buah judul buku pun dirasa sangat berat dan memerlukan waktu yang sangat lama.

Berbanding terbalik, ketika membaca beberapa halaman bacaan yang tersedia di gadget, tidak akan membuat bosan dan pasti akan sesegera mungkin diselesaikan tanpa menunda waktu lagi.  

Di Kota Bima sendiri, berdasarkan data yang penulis himpun dari website Dinas Perpustakaan Kota Bima, jumlah kunjungan pada rentan waktu sepuluh tahun terakhir, yakni: 

2014 sebanyak 2.598 pengunjung; 2015 naik menjadi 3.000 pengunjung; 2016 berjumlah 3.874 pengunjung; 2017 naik 4.124 pengunjung; 2018 sebanyak 15.000 pengunjung; 2019 sebanyak 19.057 pengunjung; 2020 menurun sebayak 6.653 pengunjung; 2021 stagnan 6.675 pengunjung; 2022 menanjak lagi sebanyak 13.694 pengunjung; dan sepanjang 2023 jumlah kunjungan ada pada angka 13.711 kunjungan. (https://perpus.bimakota.go.id/web/detail/37/pengunjung_perpustakaan)

Jumlah tersebut, jika dipersentasekan hanya sekitar 1-2 porsen dari jumlah pelajar dan mahasiswa yang tersebar di Kota Bima.

Sadar akan pudarnya peran perpustakan serta semakin terkikisnya minat baca pada kalangan milenial dan GenZ di Bima, duo guru besar suami-istri, Prof. Abdul Wahid dan Prof. Atun Wardatun, berinisiatif membangun perpustakaan yang berlokasi di jl. Lintas Ule-Melayu, Kelurahan Ule, Kecamatan Asakota, Kota Bima. Perpustakaan tersebut diberi nama Kalikuma Library & EduCamp (KLEC). 

Bagi Prof. Wahid, terkikisnya minat baca dan minimnya kunjungan perpustakaan menjadi anomali tersendiri bagi daerah yang saat ini gencar mengkampanyekan “gerakan sadar literasi” juga “smart city”.

Berbagai komunitas pun begitu produktif menyuarakan dan menghidupkan geliat literasi. Namun, komunitas-komunitas yang ada tersebut belum memilki ruang pertemuan yang bertujuan menyatukan visi menumbuh kembangkan geliat literasi daerah ini. 

Maka KLEC hadir tidak hanya menyediakan berbagai  jenis buku bacaan yang menarik dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan. Lebih dari itu KLEC hadir sebagai “community hub”, wadah bagi berbagai komunitas untuk dapat saling berinteraksi, menjadi ruang pertemuan untuk sharing berbagai pengalaman dan gagasan.

Hadirnya KLEC seolah menjadi oase di tengah minimnya ruang diskusi membangun kapasitas diri maupun kapasitas komunitas. Aba Du Wahid, sapaan akrab Prof. Abdul Wahid, mengungkapkan bahwa KLEC dipersiapkan untuk menjadi ruang publik dari berbagai komunitas di Bima, Dompu, dan sekitarnya. 

Geliat KLEC dimulai pada 2017, dengan fasilitas sederhana berupa bangunan dari rumah kayu bekas. Dengan itu KLEC membangun kegiatan-kegiatan yang produktif untuk meramu berbagai strategi memajukan geliat literasi di Dana Mbojo. 

KLEC ini kami hadirkan sebagai ruang publik alternatif bagi kreatifitas kreatifitas, juga sebagai community hub yang mempertemukan berbagai komunitas yang ada di Kota maupun Kabupaten Bima, juga Dompu dan sekitarnya”. 

Dilatarbelakangi oleh tujuan tersebut, Aba Du Wahid, menjadikan KLEC menjadi “rumah bersama” bagi berbagai komunitas yang ada di Dana Mbojo.

Semenjak berdiri sampai sekarang, KLEC telah banyak melakukan berbagai macam kegiatan literacy campaigne.

Dari sekian banyak kegiatan  yang terlaksana, yang paling membekas dalam memori penulis adalah Mbojo Writers Festival (MWF) pada 2021 silam.

Pada awalnya kegiatan ini dimaksudkan untuk peluncuran buku terbitan Alamtara Institute yang berjudul Zikir Geladakyakni buku bergenre sastra yang memuat kumpulan cerita pendek dari para penulis muda Bima-Dompu. 

Namun karena besarnya animo dari para penulis serta dukungan dari pemerintah daerah, kegiatan ini berubah menjadi “festival” yang menjadi wadah silaturrahmi untuk mempersatukan dan mempertemukan para pegiat lierasi maupun seniman yang tersebar di Nusa Tenggara Barat, bahkan yang bermukim di pulau Jawa. 

MWF berlangsung selama tiga hari, saat mana para penulis dan seniman yang terlibat berkumpul, berdiskusi, membedah buku, memperkenalkan dan memamerkan karya-karya dari para penulis maupun seniman Bima-Dompu.

Dari MWF muncul fakta, ternyata banyak komunitas literasi, komunitas penulis, komunitas seni, komunitas pemberdayaan, dan komunitas-komunitas lain yang merasa memiliki visi yang  sama yang kemudian menjadi agen atau advocator di tempat (kampung) masing-masing dalam menumbuh kembangkan kreatifitas masyarakat.

Selain itu, MWF juga mengundang para pelajar dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat mahasiwa untuk ikut terlibat dan berinteraksi secara langsung dengan para pemerhati dan pegiat literasi.

Hal tersebut di atas bertujuan agar para generasi penerus dapat lebih aware dalam mencintai buku, menghargai karya-karya orang lain, dan menjadikan perpustakaan sebagai tempat “tongkrongan” yang asyik untuk berdiskusi dan memperoleh sumber pengetahuan sebagai khazanah keilmuan yang lebih luas.

Dengan demikian eksistensi perpustakaan tidak akan terdegradasi dan mampu bejalan beriringan dengan kemajuan teknologi internet era sekarang.

Ang Rijal Anas, aktor penting lain di balik geliat KLEC selaku pengelola perpustakaan, mengungkapkan “untuk terus menghidupkan geliat KLEC, kami rutin mengadakan serial acara “Pesta Buku” pada setiap Senin, Rabu, dan Jum’at di setiap pekan”. 

Pesta Buku diisi dengan kegiatan membaca beberapa halaman buku koleksi perpustakaan yang kemudian akan didiskusikan dan dibedah untuk disampaikan oleh peserta yang hadir.

“Sampai saat ini, KLEC masih dan akan terus bergeliat, bergerak secara massive, menjadi rumah yang nyaman bagi siapapun yang berkunjung,” ujar penulis muda produktif ini.

“Kami akan menyesuaikan diri dengan kemajuan internet era modern, dan akan menjadi tempat yang akan menciptakan learning society (masyarakat belajar) yang menjadikan Dana Mbojo sebagai smart city”, pungkas Aba Du Wahid.

Saat-saat ini KLEC juga dioperasikan sebagai sentra kegiatan Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan (La Rimpu), juga Taman Al-Qur’an Alamtara (TAAT). [] Amala Aksara