Pluralitas masyarakat memiliki dua sisi sekaligus. Pertama, sisi rahmat, yakni potensi dan energi positif yang dilahirkan dari pola kelola yang baik dan benar atas keragaman itu. Efeknya bisa ke mana-mana dari menjadi modal sosial pembangunan masyarakat sampai kepada pengkayaan makna dan nilai hidup. Kedua, sisi laknat, yakni daya destruksi hasil manajemen konflik berbasis kepentingan yang bersifat politis dan sesaat. Efeknya juga bisa ke mana-mana dari kerugian material ekonomi sampai kerugian atas lahirnya masyarakat berbudaya konflik, tertutup, dan kontraproduktif.
NTB dengan komposisi masyarakat plural, dengan dua sisinya yang selalu menunggu momentum, jelas membutuhkan sebuah upaya serius yang bersifat komprehensif agar sisi rahmatnya yang berlangsung dan bukannya sisi laknat. Kerusuhan 171 adalah bukti ‘apa-apa’-nya keragaman dalam hubungan sosial di NTB. Kerusahan yang berpusat di Kota Mataram ini adalah tragedi yang telah menimbulkan banyak korban, terutama secara sosial dan ekonomi. Miliaran rupiah hilang dari NTB, demikian juga para pebisnis dan tenaga profesional yang menggerakkan roda ekonomi menyingkir dari propinsi ini. Demikian juga dengan perkelahian antarkampung, pengusiran warganegara oleh warganegara, merupakan peristiwa yang menodai citra masyarakat NTB yang dikenal religius, dan ikut memperkenalkan budaya konflik bagi masyarakat, anak cucu dan generasi mendatang.
Tarohlah yang hendak diperkenalkan itu gerakan harmoni. Prototipenya bisa kita temukan dalam berbagai pengalaman masyarakat lain atau pengalaman-pengalaman historis. Kita juga kaya dengan nilai-nilai luhur yang bisa diperas dari ajaran agama atau kearifan-kearifan budaya serta filososfi-filosofi yang hidup di tengah masyarakat (living traditions). Semuanya bisa diramu secara eklektik menjadi sebuah konsep yang bisa diterapkan untuk mentransformasi dan mendewasakan pandangan, sikap, dan perilaku sosial masyarakat. Bagi kita yang mayoritas muslim, bisa juga mengambil inspirasi dari, misalnya, ‘Masyarakat Madinah’ yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Dalam masyarakat Madinah, masyarakat plural hidup secara damai tanpa saling menegasikan. Mereka diikat oleh semangat kebersamaan yang merupakan jatidiri mereka sejak dulu yang mewujud dalam suatu kesepakan normatif tentang etika hidup bersama (Piagam Madinah). Masing-masing memberi kontribusi dalam membangun tatanan moralitas sosial yang hendak dijalani bersama. Dengan semangat yang sama, setiap kampung dengan komposisi masyarakat plural bisa mengembangkan suatu mekanisme yang memungkinkan setiap elemen masyarakat menentukan dan meratifikasi nilai-nilai yang dapat mereka acu dalam interaksi sosial. Dalam hal ini, setiap institusi sosial dan para pemimpin masyarakat memainkan peran yang signifikan untuk menyemai dan mengawal kesepakatan bersama. Dalam masyarakat kita misalnya, dikenal awig-awig, yakni suatu kesepakatan yang dirumuskan bersama oleh kelompok masyarakat untuk sama-sama ditaati. Komunitas banjar dan komunitas lain bisa menjadi elemen penting dalam kesepakatan ini.
Membangun visi bersama bagi gerakan ini tentu merupakan hal yang pertama dilakukan. Visi ini mengacu kepada definisi kita bersama mengenai kondisi ideal masyarakat yang kita kehendaki. Misalnya, kita mendambakan masyarakat kita yang multikultural ini sebagai masyarakat bercitra beradab, terbuka, dewasa, harmoni, dan produktif. Ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam kaitan dengan ini, misalnya: a) Melakukan pemetaan masyarakat plural beserta potensi-potensi konflik dan integrasi yang ada di dalamnya. b) Mempromosikan nilai-nilai positif yang kehidupan bersama yang diambil dari nilai-nilai universal agama, filsafat, dan kearifan lokal. c) Melakukan penguatan institusi dan kepemimpinan lokal sebagai wahana dan agen masyarakat dalam dalam menjalani kontak sosial yang produktif.
Pola Gerakan
Semua potensi bisa digerakkan untuk membangun partisipasi publik yang luas. Masing-masing elemen sosial mengambil posisi dan peran sesuai dengan kapasitas dan ruang lingkunya sendiri. Dikondisikan agar mereka mengambil inisiatif. Program dibuat dan dilaksanakan oleh masyarakat/komunitas. Pemerintah berfungsi memfasilitasi, mendampingi, memotivasi, dan mendinamisir jalannya program. Untuk kepentingan ini pemerintah terlebih dahulu merekrut agen-agen yang akan dibangun kapasitasnya untuk keperluan dimaksud.
Dalam menjalankan gerakan ini, semua komponen baik pemerintah maupun masyarakat menempuh pola kemitraan dan sinergi. Lembaga-lembaga pemerintah, dinas dan instansi dapat mengadopsi semangat gerakan ini untuk diterjemahkan ke dalam berbagai program aksi. Gerakan ini juga bisa dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar pemerintah, baik LSM maupun lembaga-lembaga donor dari luar negeri.
Gerakan ini dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan situasi yang diharapkan dan kelompok masyarakat sasaran. Untuk jangka panjang, dilakukan upaya penyemaian nilai-nilai yang mendukung kelompok masyarakat bisa hidup tanpa sekat (klaim, prasangka, steretipe, dan penonjolan identitas kelompok). Ini dilakukan terhadap anak-anak dan generasi muda. Untuk jangka menengah, dilakukan upaya preventif, yakni mencegah konflik dengan menciptakan suasana hubungan yang cair antarkelompok masyarakat. Di samping penyemaian nilai-nilai, pada tahapan ini dilakukan treatment terhadap event-even atau situasi yang dianggap rawan konflik, seperti keramaian dan aktivitas ruang publik. Untuk jangka pendek, dilakukan resolusi konflik antarkelompok masyarakat yang bertikai. Ini dilakukan melalui mediasi dan islah untuk mengembalikan suasana seperti sebelum konflik terjadi.
Tahapan Gerakan
Pertama, mapping (pemetaan). Pemahaman mendalam akan realitas konflik dan damai merupakan langkah awal sebelum upaya lain dilakukan. Yang perlu diketahui dari realitas ini adalah potensi konflik sekaligus damai yang ada di tengah masyarakat. Peta-peta yang perlu dibuat adalah: daerah rawan konflik, kontak sosial berpotensi konflik, tipe-tipe konflik, faktor konflik, aktor konflik, pola/karakteristik konflik, manajemen konflik, kelompok-kelompok kepentingan dalam konflik, dan model resolusi konflik. Juga perlu diidentifikasi faktor-faktor, modal sosial-budaya yang bisa berperan dalam pencegahan konflik peretasan perdamaian. Ada banyak yang bisa mengambil peran ini, misalnya perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset yang ada di daerah kita bisa berkontribusi banyak.
Kedua, networking (penguatan jaringan). Tahapan ini bertujuan membangun kesadaran dan komitmen bersama serta solidaritas dan partisipasi sosial untuk menciptakan masyarakat damai. Yang dilakukan dalam tahap ini adalah: a) Sosialisasi dan koordinasi dengan berbagai elemen masyarakat serta kelompok-kelompok strategis yang berperan dalam meretas perdamaian. b) Merekrut para aktor atau agen yang dapat membangun solidaritas, dinamika, dan partisipasi sosial dalam kerangka membangun nilai hidup bersama yang harmoni. c) Mengembangkan forum-forum kebudayaan sebagai wahana kerjasama antarkelompok masyarakat dan kelompok kepentingan. Forum ini juga berfungsi sebagai sumber pemahaman dan pertukaran budaya sebagai pemicu toleransi.
Ketiga, capacity building (membangun kapasitas). Aktor-aktor perdamaian yang telah diidentifikasi dan telah terbangun komitmennya bagi upaya perdamaian dan peningkatan nilai hidup, dibangun dan dikembangkan kemampuannya dalam hal manajemen sosial, mediasi, dan negosiasi, juga kemampuan mengolah informasi dan mengkomunikasikan pesan-pesan perdamaian kepada masyarakat. Institusi-institusi sosial juga perlu diberdayakan sehingga dapat berfungsi sebagai rujukan bagi masyarakat. Asumsinya, semakin kuat sumber rujukan semakin banyak pula orang yang mengadopsi semangat perdamaian maka akan semakin sedikit peluang untuk berkonflik.
Keempat, conflict resolution (penyelesaian konflik). Untuk kondisi tertentu di mana konflik telah terjadi, dilakukan suatu upaya penyelesaian konflik. Dalam proses ini, semua variabel konflik harus terlibat, duduk bersama menyelesaikan masalah. Pada saat inilah aktor-aktor perdamaian seperti pemuka agama, pemuka masyarakat, dan institusi-institusi sosial-budaya memainkan perannya. Banyak teori dan konsep yang bisa diacu untuk proses ini. Namun, mempertimbangkan aspek-aspek lokal, misalnya ketokohan, nilai, norma, dan kearifan lokal merupakan suatu keharusan. Pendekatan kultural terutama melalui eksplorasi khazanah leluhur yang sudah menjadi kesadaran komunal, juga sangat dianjurkan.
Kelima, peace building (membangun harmoni). Tahapan ini digerakkan baik saat damai sebelum terjadi konflik atau pasca konflik. Tujuan paling penting dari tahap ini adalah mewujudkan hubungan sosial yang damai tanpa kekerasan serta mengurangi perbedaan kepentingan atau jarak budaya. Untuk sampai ke arah itu, diperlukan aktivitas-aktitas yang mendukung peningkatan nilai hidup, pemahaman, dan toeransi. Jika proses ini berjalan secara berkesinambungan, maka akan menghasilkan proses perubahan sosial budaya yang mendukung kehidupan bersama yang harmani tanpa kekerasan dan penindasan.
Mengingat gerakan ini bersifat komprehensif dan massif, maka pada keadaan tertentu, tahapan-tahapan ini bisa dilakukan secara simultan. Pihak-pihak pemegang kepentingan (stakeholders) juga diserap sedemikian banyak utnuk menjadi mitra. Semakin banyak yang peduli damai maka semakin sempit ruang konflik bagi kelompok masyarakat. Instansi pemerintah/dinas-dinas, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, industri, ormas-orpol, toga/toma/toda, kelompok pemuda, kelompok wanita, komunitas banjar, forum-forum umat beragama masing-masing bisa melakukan sharing atas berbagai fungsi gerakan, seperti fungsi regulasi, fasilitas, dana, mediasi, komunikasi, dan sebagainya.
Peran-peran dalam Gerakan
Gerakan ini tidak memiliki hirarki yang tetap. Artinya siapa/pihak mana saja bisa melakukan inisiasi dan partisipasi. Gubernur-Wakil Gubernur berfungsi sebagai fasilitator bagi gerakan ini. Perannya adalah menyediakan menyediakan dan memenuhi perangkat dan fasilitas yang memungkinkan inisiasi dan partisipasi masyarakat berjalan dengan baik, seperti regulasi. Instansi pemerintah dan dinas-dinas juga bisa berfungsi sebagai fasilitator sekaligus sebagai mesin penggerak. Pihak ini juga bisa menterjemahkan semangat gerakan dalam program kerja. Misalnya: Dikpora merancang dan menerapkan pembelajaran inklusif dan toleransi; Kimpraswil merancang ketersediaan ruang publik yang cukup; Depag menjaring dan memberdayakan para penyuluh agama; kampus melaksanakan penyuluhan berkala; dst. Perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penilitian bisa mendonasi pikiran, data, dan sumberdaya manusia bagi keberlangsungan gerakan. Lembaga-lembaga sosial, budaya, dan keagamaan serta kelompok-kelompok strategis melibatkan diri dalam sinergi gerakan dengan mengambil peran-peran sesuai kapasitas dan ruang lingkup masing-masing.
Jika dalam jangka waktu tertentu, lima tahun atau sepuluh tahun, gerakan semacam ini bisa kita selenggarakan secara bersama, maka pasti kita akan dapat menyongsong NTB baru yang nir kekerasan dan konflik. Kita bisa kembali kepada citra masyarakat semula atau citra masyarakat masa depan yang toleran, harmoni, dan produktif. Dengan kepemimpinan baru kita bisa berharap!
Abdul Wahid, Pengkaji gerakan sosial-budaya-agama di Bima, Indonesia timur, dan dunia Melayu