PROGRAM Women Participation for Inclusive Society (WISE) Initiative dari UN Women bekerja sama dengan Wahid Foundation dan La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan) di Kabupaten Bima kini menggelar kegiatan Training of Trainer (TOT) untuk para fasilitator desa.
Bertempat di Aula Kantor Bupati Bima, La Rimpu bersama puluhan perempuan fasilitator desa dari Desa Renda, Roka, Kalampa, Dadibou, dan Penapali menggelar kegiatan TOT selama dua hari, Jumat-Sabtu (8-9/3/2024) kemarin.
Kegiatan tersebut dihadiri langsung oleh Pimpinan Yayasan La Rimpu, Prof. Abdul Wahid. Dalam sambutannya, ia mengungkapkan bahwa pentingnya perempuan untuk maju menjadi aktor dalam memberikan peran-peran sosial dan membangun upaya perdamaian.
“Kita sudah harus berpikir think globally, bahwa peran perempuan sebagai aktor penggerak (ato rawi) sudah menjadi kesadaran dunia. Oleh karena itu, La Rimpu mengajak kita semua ini untuk terlibat menggerakkan dan maju menjadi agen perdamaian yang grinta artinya tupa ra loa”. Pesan Guru Besar Antropologi Agama UIN Mataram ini.
Selain itu, hadir melalui daring, Direktur Yayasan La Rimpu, Prof. Atun Wardatun. Dalam sambutannya ia menekankan pentingnya peran fasilitator desa ini untuk terus mengawal program dan membangun upaya dialog dalam upaya membangun desa damai.
“Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian civil society untuk membangun upaya damai dan menjaga stabilitas bangsa dan negara dalam lokus terkecil yakni di Kabupaten Bima ini. Tadi malam saya kembali membaca berita bahwa terjadi lagi konflik antar desa di Penapali dan Dadibou. Mulai daru kita sendirilah yang harus membangun upaya damai itu”. Cetus Peraih Perempuan Inspirasi Kabupaten Bima 2018 ini.
Kegiatan TOT Desa Mahawo ini melibatkan lima perempuan sebagai perwakilan lima desa yang menjadi sasaran kegiatan yang sebelumnya telah dilakukan assessment oleh tim La Rimpu. Dalam pantauan tim alamtara.co, kegiatan tersebut berjalan serius dalam suasana have fun karena diselingi beberapa ice breaking dari Pengurus La Rimpu.
Untuk kelancaran kegiatan, materi dibagi menjadi dua sesi. Materi di hari pertama, yang disampaikan yakni berkaitan dengan Kepemimpinan Perempuan dan Perubahan Sosial yang disampaikan langsung oleh Prof. Abdul Wahid dan Kesadaran Kritis terhadap Tantangan Perempuan oleh ibu Juhriati. Adapun hari kedua, banyak digunakan untuk membahas langkah-langkah teknik untuk memfasilitasi pelatihan sesuai dengan materi yang disampaikan sebelumnya.
Dalam materinya, Prof. Abdul Wahid, banyak mengungkapkan inisiatif-inisiatif baik dari perempuan yang ada di sekitar kita. Lebih dari itu, ia juga banyak menyinggung kearifan lokal sebagai salah satu strategi dalam mewujudkan perubahan sosial.
“Perubahan sosial itu harus perlahan, kemudian ada kesadaran dari “dalam” ke “luar”. Nah, kemudian menggunakan kearifan lokal seperti jargon La Rimpu sendiri mahawo, manggawo, marimpa ini adalah genuine dari dou Mbojo, dan yang terakhir keterlibatan dan transendensi.” Ungkap penulis buku Catatan Perlawanan ini.
Selain itu, pria yang akrab disapa Aba Du Wahid ini, dalam materinya banyak memberikan inspirasi dari sosok perempuan-perempuan Indonesia yang berhasil menjadi pemimpin (community leader) di Indonesia, misalnya Kartini, Cut Nyak Dien, Rahmah el Yunusiyah, dan perempuan tetangga kita yang menggerakkan masyarakat di NTT: Mama Aleta Baun.
Pemateri lain, Juhriati, dalam materinya banyak menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan dan dinamika perempuan dalam setiap fase perjuangan bangsa. Ia mencontohkan sosok perempuan-perempuan yang mewakili zamannya dan dapat menjadi inspirasi. Mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga hari ini.
“Setiap zamannya memang punya tantangan sendiri-sendiri. Namun ada tiga ranah perempuan ‘bermain’ yakni ranah domestik, ranah produksi, dan ranah sosial. Sayangnya dalam praktik sehari-hari, perempuan lebih banyak berkutat di ranah domestik”. Ungkap Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Bima ini.
Lanjutnya, perempuan sebagai aktor perdamaian, peran perempuan untuk membangun dan membina jaringan negosiator dan mediator dalam skala kawasan dan desa menjadi penting. WISE Initiative yang berfokus pada upaya membangun desa damai menjadi cocok dengan peran perempuan yang selama ini dibangun oleh La Rimpu.
Pada hari kedua juga dimanfaatkan untuk berdiskusi dan merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL) oleh semua peserta yang hadir. Dalam kegiatan diskusi tersebut, Hajrah, salah satu peserta mengungkapkan berkat kerja-kerja La Rimpu selama ini, di desanya yang dulu sering berkonflik kini riak-riak tersebut lambat laun teratasi.
“Berkat La Rimpu, konflik di desa Renda-Ngali sudah sedikit teratasi. Seperti kata orang sudah mulai akur (bunesi nggahi dou waur ngaha oha sapingga) dan kini kita sudah memiliki peraturan desa yang jika desa tersebut terus berkonflik, kepala desa harus mengudurkan diri”, katanya. Di akhir acara, peserta melakukan dokumentasi sebagai upaya penguatan dan penyebarluasan pesan-pesan perdamaian dari peserta dan La Rimpu.[]