Salah satu tujuan atau arah pembangunan yang telah dirancang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045  yang akan di-breakdown dengan Rancangan Teknokratik RPJMN  Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029 adalah terciptanya Keluarga Berkualitas, Kesetaraan Gender, Masyarakat Inklusif.

Ketiga hal berhubungan multi-arah secara integrative di mana yang satu bisa menjadi sebab sekaligus akibat bagi yang lain. Maka berbicara tentang kesetaraan gender memang menjadi cross-cutting issues di mana keluarga sebagai unit terkecil dan masyarakat sebagai entitas kehidupan kolektif mempengaruhi sekaligus dipengaruhi.

Tulisan saya akan menyentuh dua hal itu sebagai basis sekaligus agama, politik (negara), dan perempuan yang juga menjadi aspek penting di dalam berbicara kesetaraan gender. Presentasi ini secara metodologis lebih bersifat personal reflective (autoetnografi) sedangkan secara struktur akan mencakup 4 sub-topik penting yaitu pertama, perkembangan isu dan perjuangan gender di NTB pada enam topik tersebut baik yang menjadi basis yaitu agama dan budaya maupun pada kondisi empiris tentang kepemimpinan perempuan, perda diskriminatif dan WPS.

Kedua, berbagai masalah yang masih menjadi isu dan character perjuangan gender di NTB. Ketiga, kompleksitas  isu gender dan intervensi yang bisa dilakukan pada 6 aspek tersebut. Keempat, beberapa hasil kajian saya yang mungkin bisa menjadi penguatan epistemologis bagi RPJMN

Kaleidoskop Gerakan Gender di NTB 25 Tahun Terakhir

Isu dan gerakan gender di NTB dalam 25 tahun tentu saja mengalami dinamika, ada changes (perubahan) ada continuities (hal-hal yang masih bertahan). Jika periodisasi ini kita bagi per lima tahun maka dapat dipetakan sebagai berikut. Pemetaan ini adalah berdasarkan pengalaman penulis pada konteks kajian akademis maupun aktivisme.

Pertama, 2000-2005 adalah formative years. Di kampus UIN Mataram PSW baru terbentuk sekitar tahun 2003. Sejak itu PSW yang sekarang sudah berubah nama menjadi PSGA melakukan berbagai kajian, pelatihan PUG, memperkuat metodologi, pendampingan berperspektif gender dsb. Kehadiran PSW. Di Level negara lahir Inpres No 9 tahun 2000

Kedua, 2006-2010 masa menyusun basis epistemologies gerakan dan menentukan identitas sebagai feminisme Muslim dan aktivisme lokal.

Baca juga: Program Pemberdayaan Perempuan untuk Perdamaian Berkelanjutan, La Rimpu gelar Kick Off di Empat Desa

Ketiga, 2011-2015 mulai tampak pada kebijakan yang serius. Misalnya 2014 keluar SE Gubernur NTB No 150/1138/KUM  tentang pendewasaan usia pernikahan. Keempat, 2016-2020. Adanya collective solidarity. KUPI melakukan kongres pertama tahun 2017. Hal ini menjadi gebrakan di kalangan para feminis muslim. Di level nasional lahir Perma No. 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum. Perubahan umur pernikahan UU No. 16/2019. Kelima, 2021-2025. Di NTB pada tahun 2021 disahkan Perda No. 5/2021 tentang pencegahan perkawinan anak. Di level struktural PUG terus bergulir terutama melalui DP3AP2KB. Kajian Islam dan gender terus dilakukan. Fatwa-fatwa KUPI disosialisasikan.

Isu Gender dan Karakter Perjuangan Gender di NTB

Kesetaraan gender adalah sebuah proses. Tujuan dari kesetaraan gender adalah berfungsinya semua warga negara termasuk perempuan di dalam pembangunan. Untuk mendapatkan posisi APKM maka perempuan bersama dengan laki-laki tercukupi haknya dan dapat menjalankan kewajibannya sebagai khalifah.

Namun, masih banyak problem yang tersisa terkait kondisi dan situasi perempuan sebagai kelompok marginal. Kelompok yang lemah sekaligus dilemahkan. Beberapa hal itu antara lain: Satu, rumah belum menjadi tempat yang aman bagi mereka (home HELL home). Tingginya kasus KDRT menjadi indikator.

Dua, feminization of Poverty. Ada 1,5 milyar penduduk dunia yang hanya bisa menghasilkan uang kurang dari 1 dollar sehari dan mayoritas mereka perempuan. Termasuk di NTB akses terhadap sumber-sumber ekonomi masih terbatas bagi perempuan. Melaui UMKM dan IPEMI ada, tetapi sumber daya yang besar-besar belum di tangan perempuan.

Tiga, keadilan yang tidak adil (Fairless Justice). Betapa sulitnya memastikan pelaku KDRT dan Kekerasan Seksual dapat dihukum sebagaimana mestinya. Demikian pula kasus-kasus hukum keluarga misalnya pemberian nafkah iddah dan nafkah anak.

Empat, perempuan masih menjadi kelompok yang seringkali  voiceless  di dalam pembangunan. Kuota 30% belum tercapai. Dana desa yang katanya untuk pemberdayaan perempuan masih jauh panggang dari api. Perempuan menjadi Subaltern Grup.

Lima, Glass Ceilings. Di dunia kerja dan career, perempuan belum bisa menikmati tangga escalator sebagaimana laki-laki. Jumlah GB di UIN Mataram dari 46 hanya 4 yang perempuan. Enam, Patriarchal Women. Cara pandang patriarkis tidak hanya ada pada laki-laki. Perempuan juga menjadi perilaku patriarchy yang justru menjadi “pemangsa” bagi sesama perempuan.

Kondisi tersebut mengharuskan perjuangan gender dan isu gender terus dilakukan dan harus mengalami modifikasi pendekatan dengan menggunakan siklus yang tidak pernah putus. Mendengar pengalaman perempuan, membongkar akar pengetahuan dan struktur sosial yang tidak adil, menata kembali pengetahuan dan keyakinan dengan alternatif yang lebih baik, melaksanakan hasil kesepakatan dan aturan-aturan negara yang terus diperbaharui, lalu mengevaluasi dan kembali mendengar dan mengkaji.

Kompleksitas Gerakan dan Isu Gender serta Upaya Intervensi

Dapat dibayangkan bahwa gerakan dan isu gender sangat kompleks. Masih banyak misalnya yang menyatakan bahwa ketidakadilan gender dan patriarchy hanyalah “imaginary enemy” bagi para aktivis. Sesungguhnya ketidakadilan itu tidak ada dan kehidupan ini baik-baik saja. Dark empathy seperti ini masih menghinggapi sebagian besar kalangan.

Ini diperparah misalnya dengan kerja sama yang saling mendukung antara agama, negara, budaya, dan keluarga di dalam memapankan ketidakadilan. Agama atau pemahaman keagamaan menjadi dasar pembenar, negara dan aparaturnya menjadi alat untuk implementasi pemahaman itu, budaya memberikan nilai justifikasi, sedangkan keluarga menjadi tempat subur terimplementasinya nilai-nilai patriarki. 

Oleh karena itu berkaitan dengan topik kesetaraan gender perlu dilakukan intervensi yang lebih memadai baik pada level epistemologi (agama dan budaya) maupun pada level aksiologi (kepemimpinan perempuan, perda yang tidak diskriminatif gender, maupun keterlibatan perempuan di dalam gerakan perdamaian dan keamanan).

Pertama, agama, perlu adanya reinterpretasi pemahaman agama yang berbasis pada pengalaman empiris perempuan atau dengan kerja-kerja induktif. Kedua, budaya, keterlibatan penuh tokoh informal dan nonformal baik perempuan dan laki-laki untuk terus menjalankan budaya yang sesuai dengan disrupsi sosial.

Baca juga: Kalikuma Library, “Community Hub” dan Oase di Tengah Kemarau Literasi

Ketiga, kepemimpinan perempuan, pembongkaran isu domestik dan publik secara lebih masif. Gender budgeting adalah salah satu aspek yang bisa diseriusi. Keempat, Perda yang tidak diskriminatif. Capacity building terkait perspektif gender bagi pelaku politik dan juga pendampingan untuk bersikap kritis terhadap konstituen.

Kelima, WPS (Women Peace, and Security). Pentahelix intervention di mana akademisi, pemerintah, pihak business, media, dan masyarakat mulai melirik ruang-ruang maskulin untuk diisi oleh feminitas perempuan karena sejatinya kedua jenis kelamin ini diciptakan untuk menjadi team yang solid baik di dunia publik maupun dunia domestik.

Keenam, pembangunan yang berbasis pada keluarga. Keluarga menjadi starting point bagi upaya sosialisasi nilai-nilai baik. Intervensi terhadap keluarga perlu dilakukan secara masif. Revitalisasi peran pendidikan keluarga terutama pada 10 tahun awal kehidupan manusia perlu lebih serius dilakukan.

Beberapa Kajian yang Relevan untuk Didiskusikan

  1. Female Leaders Creating Stepping Ladders: Exercising Strategic Agency in Religiously Affiliated Universities  of Indonesia and the USA at https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/3333
  2. In search of Autoethnography of Female Ulama: An Alternative Approach to the Study of Islamic Family Law, Atun Wardatun and  Abdul Wahid at http://journal.uiii.ac.id/index.php/isr/article/view/123
  3. Domestic Violence and Islamic Spirituality in Lombok, Indonesia: Women’s Use of Sufi Approaches to Suffering (Contemporary Islam: Dynamics of Muslim Life), Bianca J. Smith and Atun Wardatun. https://link.springer.com/article/10.1007/s11562-022-00495-5
  4. Perempuan dan Kearifan Lokal dalam Bima Damai: Pengalaman La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan) di Bima, NTB, Atun Wardatun dan Abdul Wahid, Palastren: Jurnal Studi Gender at https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/11548
  5. Woman-Initiated Divorce and Feminist Fiqh in Indonesia: Narrating Male Acts of Nushūz in Marriage, Atun Wardatun, Bianca J. Smith | 266-295 | DOI: https://doi.org/10.20414/ujis.v24i2.416
  6. Demokratisasi Rumah Tangga: Dari Subyek Menuju Sifat Kepemimpinan, Atun Wardatun dan Abdul Wahid.  http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/9100
  7. Women’s Narrative and Local Practices of Muslim Family Law: Exploring Moderateness of Indonesian Islam Atun Wardatun at http://kafaah.org/index.php/kafaah/article/view/290
  8. Listening to Everyone’s Voice: The Contested Rights of Muslim Marriage Practices In Indonesia, Abdul Wahid and Atun Wardatun, http://site.gjat.my/main/3074/index.asp?pageid=187489&t=volume-10-issue-2–2020-

Atun Wardatun, Direktur Yayasan La Rimpu dan Guru Besar Hukum Keluarga Islam di UIN Mataram