Mataram, 2 Juni 2025-Sejumlah 26 perwakilan organisasi masyarakat sipil di Nusa Tenggara Barat mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas untuk pemajuan Agenda Women, Peace and Security (WPS). Kegiatan ini adalah bagian dari kerjasama antara AMAN Indonesia dan La Rimpu yang didukung oleh UN Women yang berlangsung pada 2-3 Juni 2025 di Hotel Aston Inn, Kota Mataram.
Agenda WPS yang berakar pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 menegaskan pentingnya peran perempuan sebagai aktor dalam pencegahan dan penanganan konflik serta pembangunan perdamaian, tidak hanya sebagai korban tetapi sebagai agen perdamaian di tengah-tengah masyarakat.

NTB dipilih sebagai salah satu lokasi pelatihan karena tingginya dinamika sosial di wilayah ini, termasuk tingginya angka pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, dan ketimpangan akses dan partisipasi perempuan terhadap pengambilan keputusan. Di sisi lain, geliat gerakan perempuan di NTB juga semakin kuat, komunitas perempuan terus bergerak di akar rumput membumikan perdamaian.
Direktur La Rimpu yang juga hadir dalam kegiatan tersebut menyampaikan bahwa untuk mendorong agenda WPS di NTB tidak lepas dari perjuangan dan dinamika yang cukup melelahkan. Namun, berkat negosisasi dan berbagai perjumpaan dan diskusi yang dilakukan bisa mendapatkan dukungan dari berbagai stakehonders.
Baca juga: Kolaborasi AMAN Indonesia dan La Rimpu untuk Penguatan Pemahaman P/CVE dan WPS
“Proses mendorong agenda WPS di NTB dinamikanya cukup lumayan. Selama 25 tahun, tahap advokasi dan pembentukan kebijakan sudah tercapai, sebelumnya masih sosialisasi dan pembentukan komunitas. Namun, realitas yang terjadi saat ini adalah pertentangan antara hukum negara, agama, dan budaya. Angka perkawinan anak masih tinggi, padahal sudah terbit Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026 yang mengatur batas usia pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun,” ucap Atun Wardatun, Direktur La Rimpu.
Selain mengenal kerangka WPS, peserta juga menganalisis realitas sosial dan dampak konflik terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Pemahaman terkait instrumen global dan nasional seperti CEDAW, Resolusi 1325, dan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) juga tidak luput dijelaskan dalam pelatihan ini.
“Sebagai aktivis dan praktisi, kita jangan sampai lupa kalau ada naskah dan dokumen yang memayungi apa yang kita kerjakan. Bekerja langsung di komunitas atau lapangan itu bagus, tetapi bekerja dengan memahami kebijakan atau dokumen terkait isu yang dikawal misalnya penanganan konflik atau pencegahan kekerasan seksual saat konflik itu akan memperkuat kerja-kerja kita di komunitas,” terang Ruby Kholifah, Country Representative AMAN Indonesia.

Selama 2 hari pelatihan, peserta mendalami kerangka pikir WPS dan relevansinya pada kerja masing-masing OMS. “Saya merasa senang karena baru menyadari bahwa sebetulnya kami tidak bekerja sendiri. Isu WPS ini telah dilakukan oleh banyak lembaga,” ucap Zurhan, salah satu peserta mewakili Rumah Pemberdayaan Anak dan Masyarakat (Rudat) Institute.
Selain mengenal kerangka WPS, peserta juga menganalisis realitas sosial dan dampak konflik terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Pemahaman terkait instrumen global dan nasional seperti CEDAW, Resolusi 1325, dan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) juga tidak luput dijelaskan dalam pelatihan ini.
Baca juga: Memperkuat Ruang Aman Kelompok Perempuan Disabilitas di Desa II
Selain ruang belajar, pelatihan ini juga menjadi ruang perjumpaan dan pertukaran pengalaman antar organisasi lokal di NTB yang selama ini telah bekerja mendampingi korban kekerasan, mengorganisir komunitas, dan mendorong kebijakan perlindungan hak perempuan dan anak.
“Pelatihan ini tidak hanya memperkuat pengetahuan, tapi juga membangun jaringan antar organisasi. Kami ingin memastikan bahwa kerja-kerja akar rumput di NTB tidak hanya menjadi bagian dari gerakan lokal, tetapi nasional dan global untuk mewujudkan perdamaian yang inklusif,” kata Yeni Lutfiana, staf AMAN Indonesia sekaligus fasilitator kegiatan.
Dengan terselenggaranya pelatihan ini, AMAN Indonesia berharap gerakan OMS di NTB semakin progresif dalam mendorong implementasi Agenda Women, Peace and Security di tingkat lokal. Ke depan, AMAN Indonesia bersama mitra berkomitmen untuk terus memperluas dukungan bagi gerakan perempuan akar rumput guna mewujudkan perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan.[ARA]