Malam, sebelum pelaksanaan kegiatan turun lapangan, perwakilan dari Wahid Foundation, Mas Zainul, memberikan arahan penting kepada seluruh peserta yang terlibat dalam pengambilan dokumentasi di desa-desa. Ia mengingatkan agar segala persiapan dilakukan dengan matang, terutama terkait subjek foto yang telah direncanakan sebelumnya.
“Sekadar mengingatkan kembali ya.. untuk besok, subjek foto yang sudah direncanakan agar disiapkan ya. Misal harus ada yang dihubungi terlebih dahulu agar dapat dilakukan malam ini,” ujar Mas Zainul.
Arahan ini kemudian diperkuat oleh Program Officer La Rimpu, Mbak Mira, yang menegaskan pentingnya fiksasi tema sebelum kegiatan dokumentasi dimulai.
“Teman-teman, fiksasi ya tema yang akan difoto sesuai dengan tugas yang sudah diberikan oleh fasilitator, Mas Okta. Sehingga besok saat ke desa kita langsung gas capcus foto-foto. Lokasinya di mana, objeknya siapa, sudah harus difiksasi malam ini, yes! Dan kirim ke grup ini” ujar Mbak Mira menekankan pentingnya koordinasi yang matang.
Baca juga: Dilibatkan dalam Kelas Inisiator Perdamaian, La Rimpu Siap Wujudkan Perdamaian
Kegiatan dokumentasi ini merupakan bagian dari tindak lanjut Kelas Inisiator Perdamaian Batch 2 yang telah dilaksanakan dua hari sebelumnya. Dalam kelas tersebut, para pemuda telah mendapatkan pelatihan mengenai branding, manajemen organisasi, dokumentasi, serta pembuatan narasi. Dengan bekal tersebut, mereka diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam kegiatan lapangan.
Agenda kegiatan hari pertama mencakup pengambilan dokumentasi di beberapa desa, yakni Desa Kalampa, Desa Dadibou, dan Desa Penapali. Pada hari kedua, tim akan melanjutkan kegiatan di Desa Renda dan Desa Roka bersama tim La Rimpu dan Wahid Foundation. Fokus utama dokumentasi ini adalah menggali dan mengabadikan potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun budaya.
Dengan persiapan yang matang, diharapkan kegiatan dokumentasi ini dapat berjalan lancar dan memberikan hasil yang maksimal. Dokumentasi yang dihasilkan nantinya akan menjadi bahan penting dalam upaya meningkatkan eksposur serta memperkenalkan potensi desa kepada masyarakat luas. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk memperkuat peran pemuda dalam pembangunan desa melalui pendekatan kreatif dan berbasis data visual.
Di pagi yang cerah, Tim Wahid Foundation (WF) yang terdiri dari Mas Okta, Mas Zainul, dan Mbak Nadia, bersama Tim La Rimpu yang diwakili oleh Mbak Mira, Mbak Yana, dan Bang Arief, di Desa Kalampa. Bersama kelompok pemuda desa, mereka memulai perjalanan untuk pengambilan dokumentasi sekaligus kesempatan mengenal lebih dekat potensi desa melalui kunjungan ke empat lokasi yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat.
Kunjungan-Kunjungan
- Desa Kalampa
Kunjungan pertama tim diarahkan ke rumah produksi UMKM Angi Ndai, yang dikelola oleh Ibu Turaya. Di sini, Ibu Turaya dengan penuh semangat memperkenalkan berbagai produk unggulan yang telah ia kembangkan, mulai dari aneka abon seperti abon ayam, abon sapi, dan abon bandeng, hingga beragam minuman herbal instan seperti jahe, temulawak, kunyit putih, lempuyang, dan kunyit asam.
“Saya mulai membuat minuman ini karena suami saya sakit, dan saya sendiri pernah mengalami asam lambung,” ungkap Ibu Turaya. “Dari situ saya berpikir untuk mengolah bahan alami yang bisa membantu kesehatan, dan ternyata juga bisa membantu perekonomian keluarga.”
Produk-produk dari UMKM ini kini telah dipasarkan hingga ke Bolly, menjadi bukti nyata bahwa usaha kecil yang dikelola dengan ketekunan mampu memberikan dampak ekonomi yang besar bagi keluarga dan masyarakat sekitar.

Selanjutnya, tim menuju ke rumah Ibu Reno, seorang perempuan tangguh yang telah mengembangkan usaha produksi jajan tradisional khas Kalampa, yaitu kahangga. Dengan telaten, ia memproduksi jajanan ini langsung dari dapur rumahnya, melanjutkan tradisi keluarga yang telah berlangsung turun-temurun.
“Jajan kahangga ini memang tidak semua orang bisa buat, hanya keluarga kami yang tahu cara membuatnya,” ujar Ibu Reno dengan bangga. “Dari hasil penjualan ini, saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak sampai ke jenjang sarjana.”
Namun, Ibu Reno juga menyampaikan harapannya agar ke depan produk kahangga dapat dikemas dengan lebih menarik. Saat ini, proses pengemasan masih menggunakan plastik tradisional, sehingga ia berharap ada inovasi dalam kemasan agar nilai jualnya bisa meningkat di pasaran yang lebih luas.
Kunjungan berlanjut ke area persawahan Ra’ba Bronjo, di mana tim bertemu dengan seorang petani sayur yang telah lama menggarap lahan ini. Dengan penuh kebanggaan, ia berbagi kisah perjuangannya mengelola sawah demi kesejahteraan keluarga.
“Hasil dari sawah ini bukan hanya untuk makan sehari-hari, tapi juga bisa menyekolahkan anak saya sampai kuliah,” tutur sang petani. “Meski tantangannya besar, saya tetap bersyukur karena tanah ini memberikan kehidupan.”
Kisah sang petani mencerminkan ketahanan dan semangat masyarakat Kalampa dalam mengelola sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Kunjungan terakhir membawa tim ke Sanggar La Meci, yang dikelola oleh Ibu Ati dan Mbak Arfi. Mereka adalah fasilitator Desa Damai (Kampo Mahawo) yang memiliki perhatian besar terhadap pengembangan seni dan budaya di kalangan anak muda Kalampa. Sanggar ini telah menjadi wadah bagi banyak anak-anak muda untuk mengasah bakat mereka di bidang seni, baik seni tari, musik, maupun pertunjukan lainnya.
“Kami ingin anak-anak muda memiliki tempat untuk berkembang dan menyalurkan kreativitas mereka,” ujar Arfi. “Di sini, mereka belajar lebih dari sekadar seni—mereka belajar nilai-nilai kebersamaan dan kedamaian.”
Sanggar La Meci telah melahirkan banyak talenta muda yang luar biasa, menjadi bukti bahwa seni bukan hanya ekspresi, tetapi juga alat untuk membangun karakter dan solidaritas sosial.
Kunjungan pertama ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana masyarakat Desa Kalampa, dengan berbagai inisiatifnya, terus berupaya mengembangkan potensi lokal demi kesejahteraan bersama. Semangat dan harapan yang terpancar dari para pelaku usaha, petani, dan pegiat seni di desa ini menjadi inspirasi bagi semua yang hadir dalam perjalanan ini.
- Desa Dadibou
Siang yang cukup panas menyambut kedatangan Tim Wahid Foundation (WF) dan Tim La Rimpu dalam kunjungan kedua mereka ke Desa Dadibou. Di tengah terik matahari, tim melanjutkan agenda pengambilan dokumentasi, kali ini dengan pendampingan dari kelompok Pemuda Desa Dadibou.
Perjalanan dimulai dari kantor desa, di mana tim disambut oleh beberapa perangkat desa. Namun, ada sedikit kendala komunikasi, karena Kepala Desa Dadibou belum mendapatkan informasi sebelumnya mengenai agenda hari ini. “Saya belum tahu ada kegiatan ini, anak-anak muda tidak memberi kabar sebelumnya,” ujar Kepala Desa dengan nada sedikit terkejut namun tetap menerima kunjungan dengan hangat. Meski begitu, sesi perkenalan tetap berlangsung, memperkenalkan Desa Dadibou secara umum serta potensi yang dimilikinya.
Setelah dari kantor desa, tim menuju ke pusat kegiatan pemuda Dadibou, di mana sedang berlangsung kegiatan berbagi takjil untuk warga sekitar. Anak-anak muda terlihat sibuk menyiapkan kolak pisang, hidangan khas yang akan mereka bagikan secara gratis.
“Kami ingin kegiatan ini menjadi wadah bagi anak-anak muda agar lebih dekat dengan masyarakat. Harapan kami, semoga dengan berbagi seperti ini, hubungan antara pemuda dan warga semakin erat,” kata Rafiq, salah satu pemuda yang terlibat dalam kegiatan ini. Semangat gotong-royong dan kebersamaan sangat terasa di sini. Mereka percaya bahwa inisiatif sederhana seperti ini dapat menjadi langkah awal dalam menciptakan generasi muda yang lebih positif dan peduli terhadap lingkungannya.
Selanjutnya, tim diajak menuju Bukit di Dusun Minte, salah satu potensi wisata yang belum banyak dikenal. Perjalanan mendaki bukit di siang hari cukup melelahkan, tetapi pemandangan dari puncaknya benar-benar sepadan. Dari sini, bisa terlihat empat desa lainnya, yaitu Desa Risa, Kalampa, Penapali, dan Donggobolo. Bukit ini sering menjadi tempat camping bagi anak-anak muda Dadibou.
“Kami ingin bukit ini lebih dikenal sebagai destinasi wisata. Jika dikelola dengan baik, Dusun Minte bisa menjadi tempat wisata yang maju dan bisa mengangkat perekonomian desa, terutama bagi UMKM lokal,” ujar Irfan. Keindahan bukit ini memberikan harapan besar bagi para pemuda untuk menjadikannya sebagai ikon wisata baru di wilayah mereka.
Dari Bukit Minte, perjalanan berlanjut ke Dusun Godo, di mana para petani tomat sedang berada di ladang mereka. Panas matahari semakin menyengat, namun para petani tetap bersemangat dalam memanen hasil kebun mereka.
“Menanam tomat itu tidak hanya butuh kesabaran, tapi juga perhatian penuh. Kadang hasil panen bagus, kadang anjlok karena cuaca,” kata Pak Syarif, salah satu petani tomat di Dusun Godo. Meskipun penuh tantangan, pertanian tomat tetap menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian warga desa.
Kunjungan terakhir dilakukan di tambak ikan bandeng yang juga terletak di Dusun Godo. Hamparan tambak yang luas menjadi pemandangan yang menarik bagi tim. Para petambak tampak sibuk memberi makan ikan, sambil berbagi cerita tentang proses budidaya mereka.
“Ikan bandeng di sini rasanya lebih gurih karena kualitas airnya bagus. Kalau pas panen, banyak pembeli dari luar desa datang ke sini,” ungkap Pak Amir, salah satu petambak di Godo. Potensi perikanan ini menjadi sektor yang menjanjikan bagi perekonomian desa, dan para pemuda berharap bisa membantu dalam pemasaran agar hasil tambak lebih dikenal luas.
Kunjungan kedua ini memberikan banyak wawasan tentang kehidupan di Desa Dadibou, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun potensi wisatanya.
- Desa Penapali
Saat waktu Ashar tiba dan panas mulai mereda, Tim Wahid Foundation (WF) dan Tim La Rimpu kembali mengunjungi Desa Penapali untuk agenda pengambilan dokumentasi. Kehadiran mereka kali ini disambut hangat oleh kelompok Pemuda Desa Penapali, yang telah menyiapkan beberapa lokasi kunjungan guna memperkenalkan lebih dalam potensi dan kehidupan sosial di desa mereka.
Kunjungan pertama dimulai di Rumah Quran Ar-Rayan yang berlokasi di Dusun Kalibaru. Saat memasuki area rumah Quran, suasana religius terasa begitu kental, salah satu pengajar, Ahmad, berbagi pandangannya, “Kami ingin anak-anak di desa ini tumbuh dengan akhlak yang baik dan memiliki pemahaman agama yang kuat, karena mereka adalah masa depan desa ini.”
Baca juga: Membangun Kapasitas Pemuda Desa dengan Kampo Mahawo (2-Habis)
Perjalanan berlanjut ke Dusun Pali, tempat peternakan sapi menjadi salah satu potensi unggulan desa. Para pemuda dan warga memperkenalkan bagaimana sistem peternakan ini dijalankan dengan konsep berkelanjutan. Selain menghasilkan daging sapi untuk konsumsi, mereka juga memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik untuk pertanian. Kepala Desa, menjelaskan, “Kami berusaha mengajarkan anak-anak muda bahwa peternakan tidak hanya tentang beternak, tetapi juga bagaimana kita bisa menciptakan keseimbangan dengan lingkungan.” Peternak di desa ini juga memiliki lahan khusus untuk menanam rumput sebagai pakan sapi, memastikan keberlangsungan usaha mereka dengan cara yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Setelah mengunjungi peternakan, para pemuda menyampaikan bahwa mereka bersama masyarakat bersama-sama terlibat dalam kegiatan gotong royong di sekitar Masjid Nurul Ilmi. Kebersamaan begitu terasa saat semua bergotong royong membersihkan halaman masjid dan area sekitarnya. Suasana kekeluargaan yang erat tampak jelas di antara mereka. Seorang Perempuan muda, Putri, mengungkapkan kebanggaannya, “Gotong royong ini bukan hanya tentang membersihkan lingkungan, tetapi juga menjaga persaudaraan dan solidaritas di antara kita. Ini adalah cara kami menunjukkan kepedulian terhadap desa yang kita cintai.”
Dengan semangat kebersamaan yang terjaga, kunjungan ini menjadi lebih dari sekadar agenda dokumentasi. Ini adalah perjalanan yang menggambarkan dinamika sosial Desa Penapali—tentang bagaimana nilai religius, pemanfaatan sumber daya lokal, serta semangat gotong royong terus hidup di tengah masyarakatnya.
Kehadiran Tim Wahid Foundation dan Tim La Rimpu di tiga desa yang didampingi oleh kelompok pemuda bukan hanya sebagai bentuk pencatatan visual, tetapi juga sebagai langkah penting dalam mengangkat suara komunitas, khususnya peran anak muda dalam membangun perdamaian dan ketahanan sosial di tingkat desa.
Dari setiap pertemuan, diskusi, dan dokumentasi yang telah dilakukan, kita melihat bahwa pemuda memiliki peran sentral dalam menggerakkan perubahan. Semangat, kreativitas, dan kepedulian mereka terhadap desa menjadi modal besar dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
*Feriyadin, Pengurus Yayasan La Rimpu dan Dosen STIPAR Soromandi Bima