ITULAH salah satu pertanyaan menggelitik yang diajukan Dr Darma Satrya HD MA, Ketua HISKI NTB sekaligus peneliti sastra BRIN pada webinar HISKI NTB berjudul “Konstruksi Perempuam Sasak Dalam Sastra Indonesia”, Sabtu kemarin 25 Mei 2024.

Dalam diskusi sastra ini muncul beberapa isu penting, diantaranya mengenai kemungkinan perempuan bisa hidup tanpa laki-laki. Hal itu untuk menggambarkan betapa mandirinya perempuan.

Sebaliknya hampir sulit bagi laki-laki untuk hidup sendirian tanpa perempuan. Itu didasarkan pada fakta tiadanya mitos pria yang sanggup hidup sendirian.

Sebagaimana dalam mitologi perempuan umumnya, dalam mitologi Sasak pun kosmos ini direpresentasikan dengan sosok perempuan. Misalnya ‘Lele Seruni’, ‘Putri Rengginas’, ‘Putri Mandalika’ dan lainnya. Di luar itu sebagian ahli mengelompokkan sastra Sasak juga sebagai subkultur Jawa.

Baca juga: Perempuan, Desa, dan Modernisasi

Meski perempuan merupakan pusat kosmos, namun secara historis maupun empiris posisi dan peran perempuan tenggelam di bawah dominasi laki-laki. Hal itu bisa dilihat misalnya, tak ada satu pun tokoh pahlawan (nasional) perempuan dari Sasak sebagaimana di Aceh, Maluku atau Jawa. Semuanya laki-laki.

Dalam realitas politik dan sosial kontemporer pun nyaris tak ada tokoh atau elite perempuan yang menonjol. Perempuan menjadi kelas kedua dalam teks Sasak. Termasuk di bidang karya sastra.

Untuk yang terakhir baru satu penulis sastra Sasak yang mendapat pengakuan secara nasional. Bahkan Siti Rohmi Djalilah pun terlihat belum cukup pede maju sebagai NTB-1 dalam kontestasi politik lokal pada 2024 ini baik secara politik maupun finansial.

Sejauh ini jagad politik di Lombok sejak 1978 dikuasai oleh kalangan bangsawan, sehingga produksi teks pun lebih menggambarkan hegemoni dan suasana kebatinan kaum bangsawan (baca: pria).

Setelah masuknya TGB. Zainul Majdi dan memenangkan Pemilihan Gubernur NTB pada 2008 menandai berakhirnya dominasi bangsawan dalam konstelasi politik Sasak. Terkait perempuan Sasak yang bersedia dimadu maka sebagai sebuah fakta kebudayaan maka perempuan Sasak tidak mengenal konsep “perempuan menyakiti perempuan.”

Tetapi ini pun, seperti diingatkan Prof. Atun Wardatun, Guru Besar Hukum Keluarga di UIN Mataram sekaligus aktivis perempuan, harus diuji apakah kesediaan menerima poligami tersebut merupakan sebuah ‘kesadaran palsu’ atau otentik. Konsep ini lahir dari pandangan atau diskursus modern.

Sedangkan dalam diskursus tradisional bersedia dimadu, dalam keyakinan perempuan Sasak, mereka tidak merasa sedang menyakiti sesama perempuan. Ini berarti soal pilihan. Jika ada yang kelompok kebudayaan yang memandang bahwa poligami itu buruk dan menyakiti perempuan dipersilakan saja.

Baca juga: Tangan Kecil Orang-Orang Biasa

Kelompok ini biasanya dipengaruhi oleh ideologi feminisme yang menegaskan perempuan tak butuh laki-laki, menjadi independent women dan tak mau menikah. Di lingkungan akademik dan aktivis banyak perempuan yang berpandangan demikian. Tetapi jika ada masyarakat lain yang menerima poligami sebagai sesuatu hal yang wajar maka itu pun harus dihormati.

Di desa-desa misalnya masih banyak perempuan yang tetap memutuskan menikah, atau kawin-cerai. Malah trend belakangan ada banyak brondong yang menikahi janda. “Beli satu dapat dua,” antara lain adalah istilah popular bagi pemuda yang menikahi janda yang sudah beranak.

Oleh karena itu apa yang mesti dilakukan adalah perempuan Sasak harus berjuang secara sosial politik meningkatkan literasi agar semakin banyak perempuan Sasak yang menjadi tokoh publik, penulis, politisi, atau menjadi pengambil kebijakan.[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio

*Ilyas Yasin, akademisi dan pengagum Mahatma Gandhi