SAAT melakukan penelitian “Diaspora Bima di Manggarai terkait Adat Perkawinan dan Kematian” tahun lalu, tepatnya bulan Mei 2023, ada hal menarik yang disampaikan oleh Nur Dafiq, seorang akademisi dari Universitas Katholik Indonesia Santu Paulus Ruteng terkait proses perkawinan orang Manggarai dan jumlah belis (mahar) yang diberikan.

Nur Dafiq ialah putri dari Syarifudin, pegawai Kemenag Ruteng yang berasal dari Desa Roka, Belo-Bima,  mengungkapkan bahwa proses menemukan pasangan yang terjadi di Manggarai berjalan secara alamiah sebagaimana yang terjadi di daerah lain. Berawal dari kenalan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Seiring berjalannya waktu mereka berdua merasa nyaman satu sama lain, nyambung dalam berkomunikasi dan saling respek dalam berhubungan.

Dari situlah timbulnya benih-benih cinta dan kasih sayang di antara mereka berdua sehingga mereka memutuskan untuk berpacaran. Proses pacaran bisa memakan waktu yang lama, bisa juga sebentar, tergantung kesepakatan mereka kapan waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.

Sebelum pernikahan berlangsung, sebagaimana yang diungkap oleh Abdul Rajak, tokoh agama di Reo, terdapat proses adat yang harus dilalui. Pertama,  pihak laki-laki mengutus Tongka/Penati/Juru bicara untuk menemui keluarga pihak perempuan dalam rangka melamar sang calon untuk memastikan apakah calon pengantin perempuan ini kosong, tidak memiliki pasangan.

Jika belum memiliki pasangan, maka dilanjutkan dengan pembicaraan mengenai besar kecilnya belis, tanggal dan tempat pernikahan. Setelah itu, baru dilangsungkan pesta pernikahan secara meriah yang melibatkan orang banyak. Itulah mengapa, menurut Abdul Rajak, salah satu alasan pihak perempuan meminta jumlah belis yang tinggi.

Secara detail, hasil penelitian Heri Kurnia, dkk (2022) tentang pelaksanaan budaya belis pada perkawinan adat masyarakat Desa Benteng Tado, Kabupaten Manggarai Barat, NTT mengungkapkan terdapat tiga tahapan dalam perkawinan adat Manggarai.

Pertama,  pra nikah terdiri dari, Karong salang, menunjukkan jalan dan mengantar laki-laki ke rumah orang tua perempuan, Cumang tau ata tua, mempertemukan orang tua dan keluarga dari kedua calon pengantin, Tukar kila, tukar cincin atau hari pertunangan, Turuk empo, pencatatan silsilah keluarga agar mengetahui jika ada kemungkinan memiliki hubungan darah atau hubungan keluarga.

Kedua, hari pernikahan terdiri dari, Ngo ba paca (penyetoran belis), penyerahan atau memberikan belis berupa hewan (seperti sapi, kuda, kerbau), sarung adat, dan uang dari keluarga laki-laki yang diserahkan kepada keluarga perempuan. Wagal atau kawing, pengukuhan perkawinan antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan sebagai pasangan suami istri yang telah direstui oleh orang tua, keluarga besar ataupun kerabat dari kedua keluarga.

Ketiga, pasca pernikahan terdiri dari, Podo, mengantarkan perempuan ke rumah laki-laki, Curu/roko ata wina, penjemputan pengantin, Gerep ruha (injak telur), ritual yang dilakukan sebelum perempuan masuk ke rumah laki-laki.

Merujuk adat Manggarai zaman dahulu, besarnya belis ditentukan oleh kasta (status sosial) seseorang. Misalnya, Dalu (gelar bangsawan) memberikan 20 ekor hewan (kuda dan kerbau), Gelarang (menengah) memberikan 10 ekor kuda dan kerbau, dan Leke (rakyat biasa) memberikan 7 ekor kuda serta kerbau.

Komodifikasi Belis

Saat ini, adat belis tersebut sudah bergeser bahwa yang menentukan besar kecilnya belis tidak hanya status sosial seseorang tapi juga tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi belis yang diterima. Perempuan lulusan SD, SMP, SMA tentu berbeda jumlah belis yang diterima oleh perempuan lulusan S1, S2, dan S3. Perempuan lulusan SD menerima belis 10 sampai 20 juta, SMP/SMA 50 juta ke atas.

Sementara, S1, S2, dan S3 bisa mencapai 100 sampai 250 juta. Besarnya belis juga, dikaitkan dengan harga diri seorang perempuan. Semakin tinggi belis-nya maka semakin tinggi derajat perempuan tersebut. 

Oleh karena itu, ketika permintaan belis oleh pihak perempuan terlalu tinggi sementara pihak laki-laki tidak mampu membayarnya, maka jalan keluar untuk mengkompromikannya. Tetua adat Todo menjelaskan bahwa pemberian mahar itu bisa dilakukan dengan dua cara, melalui pintu depan, dibayar sesuai dengan jumlah belis yang diminta pihak perempuan.

Sedangkan, melalui pintu belakang, dibayar sesuai dengan kesanggupan pihak laki-laki sesuai kesepakatan kedua belah pihak di dalam rumah tetapi ketika diumumkan ke luar, jumlahnya lebih tinggi sesuai dengan permintaan pihak perempuan. Misalnya pihak laki-laki hanya sanggup membawa 5 ekor kuda atau sapi  tapi yang diumumkan keluar sejumlah 7 ekor kuda atau sapi. Menurut Tetua adat Todo, budaya ini sudah umum berlaku.

Sementara bagi orang asli Manggarai, besarnya belis disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Jika pihak laki-laki (anak wina) tidak mampu membayar sesuai dengan jumlah yang diminta pihak perempuan (anak rona), maka bisa dilakukan dengan dua cara.

 Pembicaraan belis tidak melibatkan calon mempelai perempuan tapi dibicarakan oleh pihak laki-laki (ayah, kakak laki-laki dan pamannya) dengan tongka/juru bicara dari pihak calon laki-laki. Pembicaraan belis bisa berjalan lancar sekali jalan, bisa juga berjalan alot dalam membicarakan  jumlah belis.

Sebagaimana yang diceritakan Imam Hidayat, tongka pihaknya harus bertemu beberapa kali untuk menyepakati jumlah belis yang harus diserahkan. Pada akhirnya ia harus menerima kesepakatan para tongka dan membayar sejumlah belis dengan meminta bantuan keluarga untuk menggenapi jumlah belis yang diminta.

Baca juga: Mengandaikan Uma Rimpu, Museum Budaya ala Perempuan Bima dan Indonesia

Bagi orang Bima Manggarai, besarnya belis tidak ditentukan berapa jumlahnya. Seberapa pun kemampuan dari pihak laki-laki itulah yang akan menjadi belis-nya. Itulah yang dilakukan oleh keluarga Nur Dafiq saat dilakukan perbincangan belis. Kalau mengikuti budaya Sulawesi, mahar yang dibawa 5 sampai 6 gram emas, ditambah perongkosan yang akan digunakan untuk biaya acara, biasanya sejumlah 45 sampai 50 juta sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak.

Sementara bagi orang asli Manggarai, besarnya belis disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Jika pihak laki-laki (anak wina) tidak mampu membayar sesuai dengan jumlah yang diminta pihak perempuan (anak rona), maka bisa dilakukan dengan dua cara.

 Pertama, dengan cara berhutang dan dapat dibayar dengan sistem cicilan. Jika dia tidak dapat melunasinya atau dia meninggal, maka anak-anaknyalah yang harus melunasinya. Kedua, dengan mekanisme ‘cida’, yaitu men-‘cida’ atau meminta menantunya yang belum lunas pembayaran belis untuk membantu adik iparnya seberapa pun yang diminta.

Permintaan ini tidak boleh ditolak dan harus dituruti oleh menantu. Bantuan ini dianggap sebagai membayar hutang belis yang belum lunas. ‘Cida’ ini akan terus berlaku selama hutang belis belum lunas. Jika hutang belis-nya sudah lunas, maka istilah ‘cida’ terhapus dengan sendirinya.

Laki-laki yang tidak mampu melunasi belis, juga diberi sanksi adat berupa tinggal di rumah keluarga istri dengan kewajiban bekerja di ladang ayah mertua serta tidak boleh pulang ke rumah sebelum mendapat ijin ayah mertua.

Pemberian belis sebagaimana dijelaskan H. Abdurrachman Morolla (Ketua MUI Kabupaten Ruteng) memiliki makna yang sangat mendalam yaitu sebagai bentuk penghargaan terhadap kaum perempuan, sebagai balas wae cucu de ende (membalas air susu ibu) yang telah mengandung, melahirkan dan merawatnya hingga dewasa, dan untuk membalas jasa orang tua dan keluarga perempuan yang telah membesarkannya dari kecil hingga dewasa. Oleh karenanya, belis harus dipenuhi dan dibayar lunas.

Secara umum, belis dipergunakan untuk kebutuhan kegiatan pesta pernikahan, perlengkapan pengantin, alas kas (tabungan setelah menikah), dan keperluan ayah dan saudara laki-laki calon mempelai perempuan (anak rona).[]

* Pernah diterbitkan di alamtara.co pada 13 Mei 2024