“Dari Aborsi sampai Childfree, Bagaimana Mubadalah berbicara, mengkaji hadis tentang Gender dan Isu-isu kontemporer”, kalimat tersebut merupakan judul buku baru Faqihuddin Abdul Qodir yang akrab disapa kang Faqih (mufassir feminis dan pejuang keadilan gender) yang diterbitkan oleh Afkaruna.id.
Buku setebal 183 halaman yang diterbitkan pada tanggal 1 April 2024 ini secara khusus memperkenalkan interpretasi mubadalah terhadap konsep-konsep kunci relasi gender pada berbagai isu kontemporer yang terekam dalam berbagai hadis Nabi, tunjuk misal mengenai hifzd al-furuj, kafa’ah, nafsu perempuan yang lebih besar dari laki-laki, makna aurat, akhlak relasi perkawinan, hukum aborsi bagi korban perkosaan, childfree, adopsi, pernikahan tanpa wali dan saksi, konflik keluarga, membuka aib suami, memilih taat pada ibu dari pada istri dan isu-isu kontemporer lainnya dibahas secara tuntas dan mendalam dalam buku ini diteropong dari kacamata mubadalah.
Untuk mempermudah mengimplementasikan metode mubadalah, Faqihuddin menampilkan beberapa contoh teks hadis yang berbicara dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Teks itu tertuju pada laki-laki saja dan perempuan saja, tapi dalam perspektif mubadalah teks tersebut dipahami untuk laki-laki dan perempuan.
Mubadalah ini sendiri merupakan sebuah metode tafsir yang dikembangkan oleh Faqihuddin Abdul Qodir dalam menafsirkan teks al-Qur’an dan hadist. Penjelasan secara komprehensif mengenai Mubadalah tertuang dalam tiga buku beliau yang telah terbit, Qira’ah mubadalah (2019), Perempuan bukan sumber fitnah (2021), dan Perempuan (bukan) makhluk domestik (2022).
Faqihuddin, dalam kata pengantar buku ini, memberikan pemahaman secara singkat, kata mubadalah berarti timbal balik antara dua pihak. Kata mubadalah kemudian dipergunakan sebagai terminologi yang bermakna ‘relasi dua pihak yang berdasar pada kesalingan dan kerjasama dalam mewujudkan kebaikan dan menghapus keburukan dalam kehidupan’. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus memandang diri dan pihak dalam relasinya sebagai sama-sama bermartabat dan mulia. Relasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan adalah relasi yang resiprokal, sinergis, dan kolaboratif dengan segala persamaan dan perbedaan yang dimiliki keduanya (hal. viii).
Untuk mempermudah mengimplementasikan metode mubadalah, Faqihuddin menampilkan beberapa contoh teks hadis yang berbicara dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Teks itu tertuju pada laki-laki saja dan perempuan saja, tapi dalam perspektif mubadalah teks tersebut dipahami untuk laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh hadist tentang perempuan masuk neraka karena menyiksa kucing. (Shahih Bukhari, no. 2405). Hadis tersebut menjelaskan seorang perempuan masuk neraka karena mengunci kucing di kandang tanpa memberinya makanan menyebabkan kucing tersebut mati. Inti hadis adalah larangan menyiksa. Jika dipahami dari kacamata mubadalah, subjeknya tidak terbatas pada perempuan tapi siapa pun yang menyiksa kucing, perempuan ataupun laki-laki, akan masuk neraka. Begitu juga terkait obyek yang disiksa, tidak hanya kucing, tapi menyiksa hewan-hewan lain juga menyebabkan masuk neraka, (hal. Xii).
Contoh lain yang ditampilkan adalah hadis riwayat al-Bukhari yang berbicara tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah Swt. pada hari kiamat yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, salah satunya seorang laki-laki yang dibujuk perempuan yang memiliki kuasa jabatan dan cantik rupa (untuk berzina, tetapi ia menolak dan mengatakan), “Aku takut kepada Allah”. (Shahih al-Bukhari, no. 663).
Baca juga: Pola, Tahap, dan Peran dalam Gerakan Harmoni
Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa seorang laki-laki itu memiliki pendirian yang kuat sehingga dia tidak mudah tergoda oleh rayuan seorang perempuan walaupun ia berparas ayu dan memiliki status sosial yang lebih tinggi. Jika dimaknai secara mubadalah, maka teks hadis tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi seorang laki-laki tapi juga berlaku bagi perempuan yang memiliki pendirian yang kokoh ketika dirayu oleh laki-laki atasannya, ia menolak karena takut kepada Allah.
Selanjutnya hadis tentang pemuda yang mampu dianjurkan untuk menikah. Jika dimaknai dari kacamata mubadalah, kemampuan menikah tidak hanya dimiliki oleh seorang pemuda tapi juga harus melekat pada seorang pemudi yang menjadi calon istirinya. Kalau salah satu pihak saja yang memiliki kemampuan baik fisik maupun material maka jalannya rumah tangga akan pincang sehingga tujuan pernikahan tidak tercapai. Maka dalam hadis tersebut harus dipahami sebagai kemampuan laki-laki dan perempuan.
Hadis berikutnya tentang isteri shalihah sebagai hiasan terbaik. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Anas bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Kehidupan dunia ini adalah hiasan, dan hiasan kehidupan yang terbaik adalah isteri shalihah (Shahih Muslim, no. 3273).
Pesan utama hadis di atas adalah menjadi orang baik (saleh dan salehah). Dalam perspektif mubadalah, hadis ini dipahami ‘hiasan kehidupan dunia’ itu tidak hanya ditujukan kepada perempuan yang baik tapi juga ditujukan kepada laki-laki yang baik.
Terakhir terkait childfree, bagaimana mengimplementasikan tafsir mubadalah. Chiledfree sendiri diartikan sebagai pilihan seseorang dengan pasangannya untuk berkeluarga tanpa perlu mempunyai anak sendiri (anak yang lahir dari Rahim istrinya sendiri). Artinya bisa saja pasangannya sama sekali tidak mengasuh anak atau mengasuh anak orang lain atau mengadopsi anak.
Menurut Faqihuddin pilihan childfree tidak menjadi persoalan selama pilihan itu bersifat individu (bukan gerakan sosial) tanpa ada paksaan dari pihak mana pun, dan suami isteri sadar akan pilihannya tersebut. Pilihan ini tidak melanggar norma atau ajaran apa pun dalam Islam (hal. 95). Alasannya adalah hukum menikah, menurutnya paling jauh, Sunnah. Orang yang memilih tidak menikah, menurut mayoritas ulama, tidak melanggar apapun, ulama pun banyak yang memilih tidak menikah. Jadi logika sederhananya, memilih untuk tidak menikah diperbolehkan begitu juga memilih untuk tidak punya anak.
Adapun hadis yang menyuruh untuk menikahi perempuan yang subur dan Nabi berbangga dengan jumlah umat Islam yang banyak, bukan merupakan perintah wajib tapi hanya anjuran. Jika wajib, maka akan ada larangan untuk menikahi perempuan yang tidak subur. Padahal yang tidak subur itu tidak hanya perempuan tapi laki-laki juga. Isteri Nabi Saw. pun ada yang tidak memiliki anak, seperti Aisyah ra. dan Hafsah ra.
Jadi, walaupun childfree itu bukan pilihan yang tepat dan ideal jika mengikuti norma-norma umum dalam Islam, tapi jika dikehendaki secara individu, tidak dilarang. Namun, jika menjadi gerakan massal, maka hal itu dilarang karena akan menghentikan reproduksi manusia melalui jalur biologis; hubungan seksual, kehamilan, dan melahirkan (hal. 99).
Ilustrasi: Kalikuma Studio
* Syukri Abubakar, Dosen UIN Mataram dan Peneliti Islam dan Budaya Lokal